Yang Pertama dan Yang Terakhir
(Yesaya 44:6)
đź“… 18 Jul 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Setiap pagi, hidup membuka dirinya seperti halaman baru. Tetapi tidak semua halaman terasa menyenangkan. Ada hari yang penuh semangat, ada juga hari yang berat, penuh keraguan dan lelah. Dalam perubahan waktu yang cepat, dalam pergantian musim yang kadang membuat kita terombang-ambing, kita bertanya dalam hati: “Siapa yang sungguh-sungguh tetap di tengah segala hal yang berubah?”
Lalu suara dari Kitab Yesaya datang—seperti pelita dalam gelap—menguatkan jiwa yang lelah: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian.” Inilah Tuhan yang tidak berubah. Dia tidak hanya ada di awal penciptaan, tetapi juga menunggu kita di ujung segala sesuatu. Ia memegang sejarah, dan Ia juga memegang langkah-langkah kecil kita yang kadang gemetar.
Kalimat ini bukan hanya pengakuan teologi. Ini suara kasih yang lembut dan kokoh dari Sang Bapa. Seperti seorang ayah tua yang memandang anaknya yang gelisah, Tuhan berkata: “Nak, Aku sudah ada saat kamu belum mengerti apa-apa. Dan Aku akan tetap ada saat semua orang sudah pergi.” Melalui kata-kata ini, Tuhan sedang memeluk hati kita—yang lelah, yang bingung, yang takut kehilangan pegangan.
Kita sering mencari pegangan di tempat yang keliru. Kita menggantungkan harapan pada uang, jabatan, reputasi, bahkan orang-orang yang kita kasihi. Tapi semua itu bisa pergi. Semua itu punya batas. Semua itu bukan “yang terdahulu” dan pasti bukan “yang terkemudian”. Hanya Tuhan yang menjadi awal dan akhir — yang artinya, Dialah dasar dan tujuan dari hidup kita.
Yesaya menulis ini saat umat Israel sedang berada di pengasingan. Mereka kehilangan rumah, kehilangan tanah, kehilangan masa depan. Tapi Tuhan datang, bukan hanya dengan kekuatan-Nya, tetapi dengan pengingat: bahwa mereka tidak pernah keluar dari kisah yang ditulis tangan-Nya sendiri. Meskipun mereka merasa kehilangan segalanya, mereka tidak pernah kehilangan Tuhan. Dan itu cukup.
Renungan ini menantang kita hari ini: apakah aku benar-benar bersandar pada Tuhan, atau hanya menyebut nama-Nya sambil tetap berpaut pada hal-hal lain? Apakah aku hidup seperti percaya bahwa Tuhan memegang hidupku dari awal sampai akhir, atau hanya datang pada-Nya saat terpaksa?
Bila Tuhan adalah yang Pertama dan Terakhir, maka tidak ada ruang bagi allah-allah kecil dalam hidup kita: allah ketakutan, allah pencitraan, allah kekuasaan. Semua itu bisa menjerat, tapi tidak bisa menyelamatkan. Kita diajak kembali—bukan ke gereja dulu, bukan ke rutinitas rohani dulu, tapi ke pengakuan paling dasar: “Tidak ada Allah selain Engkau.” Dalam pengakuan itu, kita menemukan damai yang dunia tidak bisa beri.
Renungkan Hari Ini:
Apakah hidupku sungguh dipusatkan pada Tuhan yang kekal? Ataukah aku masih mencoba memegang banyak “allah kecil” yang justru membuat hatiku lelah?
📤 Bagikan via WhatsApp
⬅ Kembali ke Daftar Renungan
Belum ada komentar untuk renungan ini.