Berjumpa Dengan Luka Kristus dalam Pengalaman Hidu
(Yohanes 20:28)
đź“… 11 Aug 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Thomas berdiri di hadapan Yesus yang bangkit, matanya menatap luka di tangan dan lambung-Nya. Bagi Thomas, inilah momen yang menentukan: bukan perdebatan panjang, bukan teori yang disusun rapi, tetapi undangan untuk melihat dan menyentuh. Ia tidak lagi hanya mengandalkan argumen rasional, melainkan pengalaman langsung yang mengubah segalanya. Dari keraguan yang ia bawa, lahirlah pengakuan yang paling dalam: "Ya Tuhanku dan Allahku!"
Iman Thomas lahir dari pendekatan yang empiris—ia bertemu, ia mengalami, ia menyentuh. Yesus tidak menegurnya karena mencari bukti, melainkan membawanya pada perjumpaan yang menyalakan keyakinan. Inilah jalan iman yang sejati: bukan berhenti pada analisis pikiran, tetapi bergerak menuju pengalaman nyata bersama Kristus yang hidup.
Banyak orang mencoba merumuskan iman hanya dengan logika, seolah-olah Allah bisa sepenuhnya dipahami oleh rumus dan definisi. Padahal, iman yang kokoh dibangun dari pertemuan yang menggetarkan hati—seperti menyentuh luka Kristus dan merasakan kasih yang keluar darinya. Iman yang lahir dari pengalaman pribadi akan bertahan lebih kuat daripada iman yang hanya ditopang argumen.
Hari ini, kita mungkin tidak memegang secara fisik tangan yang ditembus paku itu. Namun kita bisa mengalami Kristus melalui sentuhan damai di hati, senyum orang asing yang menguatkan, doa singkat di tengah kesibukan, atau bahkan melalui keheningan sore yang memberi rasa tenteram. Allah hadir dalam jalur-jalur sederhana hidup kita—di meja makan, di ruang kerja, di perjalanan pulang—sebagaimana Ia hadir di ruang berkumpul para murid yang penuh ketakutan itu.
Pengalaman iman yang sejati bukanlah perjalanan mencari konsep teologis yang sempurna, tetapi perjumpaan yang terus-menerus dengan Allah yang hidup di dalam keseharian kita. Seperti kata St. Gregorius Agung (540–604 M): "Bagi mereka yang mengenal-Nya, Tuhan hadir tidak hanya di bait-Nya, tetapi di tengah kehidupan mereka sehari-hari." Artinya, kehadiran Allah tidak dibatasi oleh ruang ibadah; Ia menyeberangi batas waktu dan tempat untuk mendampingi kita di tengah pekerjaan, pergumulan, dan kebahagiaan. Inilah penghiburan terbesar: bahwa kita tidak perlu menunggu pengalaman spektakuler untuk berkata, "Ya Tuhanku dan Allahku." Cukup membuka mata hati, dan kita akan mendapati Dia berjalan bersama kita di jalan yang biasa.
Iman tidak menunggu langit terbelah atau mujizat besar untuk bertumbuh; iman bertumbuh saat kita berani membuka hati dan mengenali Kristus yang meresapi setiap detak jalan kehidupan kita, di napas pagi yang tenang, di langkah yang letih, di pelukan yang hangat. Di sanalah Allah memilih untuk hadir.
📤 Bagikan via WhatsApp
⬅ Kembali ke Daftar Renungan
Belum ada komentar untuk renungan ini.