Diam di Tengah Gunung

(Lukas 6:12)
đź“… 08 Aug 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Ada saat ketika suara dunia terlalu bising. Segala sesuatu mendesak untuk diputuskan, dijalankan, dan diselesaikan segera. Dalam suasana seperti itu, Yesus justru menarik diri ke bukit dan berdiam dalam doa. Bukan sebentar, tetapi sepanjang malam Ia berdoa.<br />
Yesus tahu apa yang akan datang—Ia akan memilih dua belas murid, fondasi awal komunitas Kerajaan Allah di bumi. Tetapi Ia tidak bertindak gegabah. Ia tidak mengandalkan kalkulasi manusiawi atau kepiawaian berbicara. Ia menyendiri, tidak untuk melarikan diri, tetapi untuk bersatu dengan kehendak Bapa. Di tengah gunung, Yesus menghadap pada keheningan yang penuh makna—suatu kesunyian yang berbicara lebih keras dari keramaian dunia.<br />
Perjumpaan dengan Allah tidak terjadi di tengah keriuhan dunia: bukan dalam hiruk-pikuk suara manusia, bukan dalam gejolak ambisi, perasaan yang tak menentu, atau perebutan kekuasaan. Perjumpaan itu terjadi dalam keheningan dan keteduhan hati—saat kita melepaskan hasrat untuk mengendalikan, dan membiarkan diri dibimbing oleh suara yang lembut dari atas.<br />
Di sinilah kita memahami makna mendalam dari kata-kata Thomas Merton, &amp;quot;God speaks in the silence of the heart. Listening is the beginning of prayer.&amp;quot; (Tuhan berbicara dalam keheningan hati. Mendengarkan adalah awal dari doa). Kutipan ini bukan sekadar kalimat yang indah, melainkan sebuah pengingat bahwa doa sejati dimulai bukan dari kata-kata, tetapi dari kesediaan untuk mendengarkan. Dalam keheningan hati yang teduh, suara Allah menjadi mungkin terdengar. Maka, ketika Yesus naik ke bukit untuk berdoa, Ia memberi teladan—bahwa mendengarkan Allah membutuhkan ruang batin yang hening, bebas dari kebisingan pikiran, gejolak emosi, ambisi, dan keinginan untuk menguasai.<br />
Kita hidup di zaman yang mengukur nilai dengan produktivitas, keputusan dengan kecepatan, dan kehadiran dengan notifikasi. Namun, Yesus mengajarkan jalan yang sebaliknya: jalan untuk berhenti, menepi, dan diam dalam hadirat Allah. Ia mengundang kita naik ke gunung kehidupan kita—bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk memurnikan pendengaran rohani kita.<br />
Kehidupan rohani tidak bertumbuh dalam keriuhan dan ketergesaan hasrat, ambisi, dan keinginan, tetapi dalam ruang sunyi yang teduh. Di sanalah iman ditempa dan kasih diarahkan. Di sanalah suara Tuhan menjadi terang di tengah gulita batin kita.<br />
Dalam keheningan, hati menjadi tempat Tuhan berbicara dan doa menjadi awal dari ketaatan.
Komentar & Jawaban (maksimal 10 komentar):

Belum ada komentar untuk renungan ini.

Jika anda punya pertanyaan terkait renungan ini, sila ajukan dengan mengisir form di bawah ini. Segera akan kami respons.

Nomor HP tidak ditampilkan ke publik
📤 Bagikan via WhatsApp ⬅ Kembali ke Daftar Renungan