Kasih yang Tidak Mencari Untung
(1 Yohanes 4:9)
đź“… 06 Aug 2025
✍️ Pdt. Irvan Hutasoit
Di dunia yang penuh transaksi dan kalkulasi, kasih sering kali menjadi alat tukar. Kita mencintai jika dicintai. Kita memberi jika ada jaminan kembali. Namun kasih Allah, seperti yang dinyatakan dalam 1 Yohanes 4:9, tidak berasal dari ruang untung-rugi. Kasih-Nya adalah tindakan yang mendahului segala reaksi. Ia tidak menunggu kita layak, tetapi justru hadir ketika kita belum sanggup mengasihi balik.
Yesus tidak datang karena dunia layak ditebus, melainkan karena dunia tidak akan pernah bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Dalam kerendahan hati Sang Putra dan pengorbanan-Nya, kita melihat kasih yang tidak bersyarat—kasih yang tidak bertanya apa imbalannya.
Seperti yang pernah dikatakan Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog yang menulis The Cost of Discipleship dalam bayang-bayang tirani Nazi: "Kasih karunia murah adalah musuh mematikan Gereja kita. Kasih karunia murah berarti pengampunan tanpa pertobatan, baptisan tanpa disiplin gerejawi, Perjamuan Kudus tanpa pengakuan dosa, kasih karunia tanpa salib, tanpa Yesus Kristus yang hidup dan menjelma."
Bonhoeffer membedakan antara kasih karunia murah (cheap grace) dan kasih karunia mahal (costly grace). Dan dalam terang 1 Yohanes 4:9, kita melihat bahwa kasih Allah bukanlah kasih yang murahan—itu adalah kasih mahal karena dinyatakan dengan jalan salib.
Kasih yang mahal ini mengandung risiko: Ia datang ke dunia yang kemungkinan besar menolak-Nya. Ia mengasihi manusia yang mungkin tidak akan pernah berubah. Namun kasih Allah tetap memilih untuk hadir. Ia tidak menunggu kondisi membaik. Ia menyusup ke dunia dalam bentuk Anak yang menderita, supaya kita hidup oleh-Nya, bukan hidup atas dasar merit kita sendiri.
Bonhoeffer sendiri adalah saksi dari kasih mahal itu. Ia menyerahkan hidupnya bukan hanya karena iman abstrak, tetapi karena keyakinan bahwa kasih yang sejati tidak bisa netral dalam menghadapi kejahatan. Dalam penjara, menjelang kematiannya, Bonhoeffer hidup dalam kasih yang sama yang ia tulis—kasih yang tidak mencari kenyamanan, tetapi kesetiaan.
Hari ini, kita hidup di tengah zaman yang menuntut semuanya instan, praktis, dan saling menguntungkan. Di media sosial, kasih jadi citra. Di relasi personal, kasih menjadi kontrak tak tertulis: "Jika kamu tidak membalas, maka aku berhenti." Kita terbiasa dengan kasih yang cepat dikemas dan cepat ditinggalkan, bahkan kasih yang bertransaksi.
Namun kasih yang ditunjukkan dalam 1 Yohanes 4:9 menantang seluruh budaya itu. Ia menyatakan bahwa kasih sejati akan selalu melibatkan biaya: waktu, tenaga, bahkan reputasi. Tapi justru di situlah hidup yang sejati bermula—bukan hidup karena diterima, tapi hidup karena sudah dikasihi terlebih dahulu.
Dan di sinilah kita mulai melihat kaitannya dengan relasi yang sehat dengan sesama.
Relasi yang sehat tidak pernah dibangun di atas kebutuhan untuk dikagumi, dituruti, atau dimenangkan. Relasi yang sehat tumbuh dari kasih yang bersumber pada Allah, kasih yang tahu bagaimana hadir, bertahan, memberi ruang, dan menanggung luka tanpa memanipulasi. Seperti Allah mengutus Anak-Nya, demikian juga kita dipanggil untuk keluar dari diri sendiri dan hadir bagi orang lain.
Bonhoeffer menulis dalam Life Together, karya pentingnya tentang komunitas Kristen: "Dia yang tidak bisa tinggal sendirian, hati-hati jika ia masuk dalam persekutuan; dan dia yang tidak bisa masuk dalam persekutuan, hati-hati jika ia sendirian."
Kalimat ini menunjukkan bahwa relasi yang sehat dimulai dari kasih yang berakar dalam Allah, bukan dari kehampaan diri atau keinginan untuk dipenuhi oleh orang lain. Orang yang hanya ingin "mengambil" dalam relasi akan selalu kecewa dan menuntut. Namun orang yang telah mengalami kasih Allah yang mahal—kasih yang tidak mencari keuntungan—akan mampu hadir dalam relasi bukan untuk menguasai, tetapi untuk melayani.
Sering kali relasi rusak bukan karena perbedaan, tapi karena ekspektasi tersembunyi. Kita menuntut dipahami tanpa mau memahami. Kita ingin dimengerti tanpa memberi ruang bagi yang lain untuk menjadi dirinya. Namun kasih Allah yang dinyatakan di dalam Kristus bukanlah kasih yang menuntut pengertian lebih dulu. Ia datang lebih dahulu, mencintai lebih dulu, dan tetap mencintai meski ditolak.
Jika kita membangun relasi dari dasar kasih yang mahal ini, kita tidak akan terjebak dalam pola "aku mencintai agar dicintai." Sebaliknya, kita akan belajar mencintai karena kita sudah dicintai lebih dulu—oleh Allah. Maka kasih itu menjadi daya yang menyembuhkan, bukan menguras. Menjadi energi untuk mengampuni, bukan menyimpan dendam. Menjadi kekuatan untuk membangun, bukan untuk menuntut balik.
Relasi yang sehat lahir bukan dari kesamaan, tetapi dari komitmen pada kasih yang bertahan di tengah perbedaan. Dan kasih seperti itu hanya mungkin ketika kita, seperti Bonhoeffer, berani menanggalkan versi "murah" dari kasih, dan hidup dalam kasih mahal yang ditunjukkan Kristus di salib.
📤 Bagikan via WhatsApp
⬅ Kembali ke Daftar Renungan
Belum ada komentar untuk renungan ini.