Ketika Dunia Lupa, Allah Masih Ingat
(Yesaya 44:21)
đź“… 02 Aug 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Dalam perjalanan hidup yang penuh dengan dinamika dan distraksi, tidak jarang kita merasa seperti terlupakan. Dunia bergerak cepat, nama kita bisa hilang dalam daftar, wajah kita kabur dalam ingatan banyak orang. Bahkan dalam persekutuan yang hangat pun, ada saat-saat ketika hati berbisik: “Masih adakah yang sungguh mengingatku?” Dalam kesendirian itu, ayat dari Yesaya ini hadir bukan sebagai teguran keras, melainkan sapaan lembut dari Allah yang setia: "Engkau tidak Kulupakan."
Firman ini adalah sapaan kasih yang mendalam. Tuhan tidak hanya meminta Israel mengingat karya-Nya, melainkan juga mengingat siapa mereka di mata-Nya: milik-Nya, hamba-Nya, ciptaan-Nya. Di balik seruan "Ingatlah semuanya ini", tersembunyi kerinduan Allah agar umat-Nya sadar kembali akan identitas yang telah Ia tetapkan sendiri—bukan berdasarkan prestasi, tetapi karena relasi. Ketika Allah mengingat, Ia tidak hanya mengenang; Ia bertindak. Abraham Joshua Heschel, teolog Yahudi, mengatakan: "God remembers not merely to recollect, but to act. Divine memory is always dynamic." Allah yang mengingat adalah Allah yang bekerja, yang menjaga, yang memelihara.
Kita dibentuk oleh tangan-Nya sendiri. Kata "membentuk" dalam teks Ibrani berasal dari yatsar, yaitu kerja seorang penjunan—mengerjakan tanah liat dengan sentuhan penuh maksud dan kelembutan. Itu berarti kita bukan ciptaan sembarangan. Kita dibentuk dengan sengaja, dan pembentukan itu tidak pernah berhenti. Bahkan saat kita merasa retak dan tidak layak, Allah tidak berhenti membentuk. Martin Luther menegaskan, "God does not forsake His creatures, especially not those who call on His name." (Allah tidak meninggalkan ciptaan-Nya, terlebih mereka yang berseru kepada nama-Nya.)
Janji "Engkau tidak Kulupakan" adalah peneguhan paling kuat di tengah dunia yang cepat beralih. Itu bukan sekadar penghiburan, melainkan jaminan relasional: Tuhan tidak pernah membuang milik-Nya. Dalam kasih-Nya yang tak tergoyahkan, kita diingat bukan karena kita kuat, melainkan karena Dia setia. Ketika kita merasa kecil dan tak berarti, Tuhan tetap menyebut kita "hamba-Ku." Ketika dunia menutup pintu, Ia tetap membuka tangan.
Firman ini menjadi undangan untuk pulang. Bukan pulang ke tempat fisik, tetapi pulang ke kesadaran terdalam bahwa kita hidup karena diingat oleh Allah. Janji-Nya cukup untuk menenangkan badai dalam jiwa, cukup untuk mengangkat wajah kita dari tanah, cukup untuk membuat kita berjalan lagi dalam pengharapan. Kita mungkin lupa pada Allah, tetapi Allah tidak pernah lupa pada kita.
📤 Bagikan via WhatsApp
⬅ Kembali ke Daftar Renungan
Belum ada komentar untuk renungan ini.