Hening yang Menyayat
(Zakharia 7:10)
đź“… 29 Jul 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Ada saat ketika kata-kata kehilangan makna, dan doa yang terdengar megah justru terasa hampa. Zakharia berbicara kepada umat yang rajin beribadah, tetapi lupa, Tuhan lebih memperhatikan isi hati daripada bunyi mulut. Ia tidak menolak puasa dan persembahan. Tetapi Ia bertanya: di mana keadilanmu bagi yang lemah?
Dalam sunyi, Tuhan menaruh perhatian pada mereka yang kerap luput dari sorotan: janda, yatim, orang asing, dan orang miskin. Mereka bukan sekadar kelompok sosial. Mereka adalah wajah-wajah nyata yang mencerminkan kerentanan manusia, dan seringkali, wajah Allah sendiri.
Teolog Ortodoks bernama Miroslav Volf pernah menulis, "hati manusia cenderung tertutup rapat karena takut kekurangan, tapi salib Kristus memanggil kita untuk hidup dalam kelimpahan memberi." Jika kita benar-benar dibentuk oleh salib, maka kita tak bisa menutup mata terhadap luka dunia.
Zakharia menegaskan bahwa ketidakadilan bukan hanya soal tindakan, tapi juga soal niat. Kita bisa saja tidak menyakiti secara langsung, tetapi diam kita bisa menjadi bagian dari penindasan. Bahkan rancangan yang tidak terealisasi tetap membentuk siapa kita di hadapan Tuhan.
Joas Adiprasetya, dalam banyak tulisannya, mengingatkan bahwa spiritualitas Kristen bukan soal melarikan diri ke langit, melainkan soal menjejakkan kaki di tanah dengan empati. Ia pernah menulis, “Tuhan hadir dalam tubuh yang rapuh, dalam relasi yang luka, dan dalam solidaritas yang diam-diam.” Maka, bertemu Tuhan bukan di tempat tinggi, tapi di sisi mereka yang terabaikan.
Hari ini, kita tidak dipanggil untuk menjadi pahlawan. Tetapi kita bisa mulai dengan membuka ruang di hati kita bagi yang nyaris tak terdengar. Kita bisa melawan kejahatan, bukan dengan kekuatan besar, tetapi dengan kasih yang lembut dan jujur—yang tidak merancang kejahatan bahkan dalam hening.
📤 Bagikan via WhatsApp
⬅ Kembali ke Daftar Renungan
Belum ada komentar untuk renungan ini.