Perhentian yang Membentuk Keteguhan Jiwa
(Ibrani 4:9-10)
đź“… 28 Jul 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Ada jenis kelelahan yang tak tersentuh oleh tidur panjang. Bukan tubuh yang letih, melainkan jiwa yang penuh luka. Di dunia yang terus menuntut, tempat di mana produktivitas menjadi ukuran nilai diri, kita didorong untuk terus berjalan, terus membuktikan, terus tampil kuat. Namun, justru dalam kelelahan terdalam itu, kita diundang bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk masuk.
Masuk ke dalam katapausis—perhentian Allah. Bukan sekadar waktu luang, bukan sekadar bebas dari pekerjaan rumah atau tugas kantor, melainkan masuk ke dalam ketenangan Ilahi, ruang kudus di mana segala perjuangan manusia diserahkan kepada karya Allah. Perhentian ini bukanlah akhir dari kerja, tetapi pembebasan batin dari kerja yang membebani jiwa.
Teolog kontemporer seperti Walter Brueggemann menyebut Sabat sebagai praktik resisten terhadap budaya yang menuntut konsumsi dan kecepatan. Dalam Sabat, kita mengaku, dunia tidak bergantung pada performa kita, tetapi pada kesetiaan Allah. Oleh sebab itu, perhentian bukan bentuk kelemahan, tetapi bentuk resiliensi spiritual—ketahanan spiritual menghadapi badai, karena hanya jiwa yang tahu di mana ia bisa berdiam, yang akan mampu bertahan dalam badai.
Demikian pula Henri Nouwen berkata, Spiritual rest is not an escape from responsibility, but a way to be present to God so that we may return to the world with renewed compassion. Kita beristirahat bukan untuk menjauh, tetapi untuk menemukan kekuatan baru—untuk kembali menghadapi dunia dengan hati yang lebih tenang, dan cinta yang lebih dalam.
Dalam Kristus, perhentian itu menjadi nyata: Dia yang berkata Marilah kepada-Ku (Mat. 11:28) adalah Dia yang juga menanggung beban kita. Ketika kita berhenti mengandalkan kekuatan sendiri, dan berserah pada kasih-Nya, kita sedang mengizinkan jiwa kita diisi kembali, dibentuk ulang, dikuatkan.
Seperti seorang anak yang tertidur dalam pelukan ayahnya setelah menangis lama karena dunia terlalu keras, demikianlah kita di hadapan Allah. Bukan lari dari kenyataan, melainkan diam dalam harapan. Bukan lepas dari tanggung jawab, tetapi masuk ke dalam kekuatan yang tidak kita hasilkan sendiri. Akhirnya, belajarlah untuk berhenti ketika sudah makin jauh terjerumus dalam keriuhan dunia, agar perhentian itu membawa kita masuk ke dalam dekapan Sang Ilahi, yaitu Allah Tritunggal Maha Kudus. Amin.
📤 Bagikan via WhatsApp
⬅ Kembali ke Daftar Renungan
Belum ada komentar untuk renungan ini.