Tuhan di Tengah Kota yang Tak Bertobat

(Kejadian 18:22-33)
đź“… 27 Jul 2025
✍️ Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Di sebuah lembah yang bergelimang kekerasan dan hawa panas kebejatan, seorang lelaki berdiri di hadapan Allah. Ia bukan imam. Ia bukan nabi besar dengan tongkat mujizat. Ia hanya seorang sahabat Allah — Abraham, yang hatinya terbakar oleh kecemasan akan nasib kota yang hendak dilenyapkan: Sodom. Ini bukan sekadar kisah perdebatan angka—lima puluh, empat puluh lima, sampai sepuluh—ini adalah fragmen kecil dari percakapan intim antara manusia yang peduli dan Allah yang Mahakudus.

Abraham tidak sedang “berdoa” dalam pengertian kita yang sempit, ia tidak melantunkan pujian atau mengangkat tangan dengan puisi iman. Ia berdiri, menahan Tuhan di hadapan-Nya, seolah berkata: “Bukankah Engkau yang adil? Bukankah Engkau yang mengenal air mata setiap anak kecil di kota itu? Tidakkah ada kemungkinan bahwa belas kasihan bisa menunda murka?” Percakapan ini seperti lukisan paling lembut dari iman yang tidak pasif—iman yang berani memohon agar keadilan tak mematikan belas kasih.

Inilah tempat gereja berdiri di dunia hari ini. Tidak di menara gading, bukan pula di ruang aman yang steril dari kebobrokan, tetapi di antara Tuhan dan dunia yang retak. Gereja bukan sekadar penyampai kabar baik, tetapi jembatan harapan. Ia harus berani berdialog dengan Allah tentang dunia yang mengabaikan-Nya. Seperti Abraham, gereja dipanggil bukan untuk memaki dunia dari kejauhan, tetapi memohonkan nasib dunia di hadapan Allah dengan kasih dan keberanian.

Para teolog seperti Karl Barth pernah mengatakan bahwa gereja harus hidup "pro me, pro mundo" — demi Kristus, demi dunia. Kita tidak boleh jatuh ke dalam kelelahan moral atau sinisme spiritual. Dunia yang bejat tidak membutuhkan gereja yang diam, tetapi gereja yang bersuara, yang membawa luka dunia dalam doa, dalam kerja, dalam pengharapan. Ini bukan sikap kompromistis, tetapi bentuk keberanian spiritual: menyuarakan kasih bahkan ketika dunia tidak layak menerimanya.

Renungan ini menjadi penting hari ini karena banyak dari kita kehilangan kepekaan itu. Kita cepat menyalahkan, lambat memahami. Kita sigap mengutuk, lambat berlutut. Namun Abraham mengajarkan bentuk tertinggi dari keberpihakan: keberpihakan yang bertanya kepada Allah tentang kemungkinan anugerah di tengah kesalahan manusia.

Maka hari ini, jadilah Abraham di tengah Sodom zaman ini. Berdirilah di antara dunia yang tak tahu arah dan Tuhan yang tak pernah berhenti mengasihi. Percakapanmu, mungkin, bisa menjadi alasan bagi belas kasih itu tetap hadir.
Komentar & Jawaban (maksimal 10 komentar):

Belum ada komentar untuk renungan ini.

Jika anda punya pertanyaan terkait renungan ini, sila ajukan dengan mengisir form di bawah ini. Segera akan kami respons.

Nomor HP tidak ditampilkan ke publik
📤 Bagikan via WhatsApp ⬅ Kembali ke Daftar Renungan