Logo GKPI

Ketika Cinta Ditinggal, Kasih Tuhan Tinggal

Nas: Yesaya 54:4–8 | Ibadah Kategorial
🗓️ Tanggal: 21 Jul 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, khususnya para ibu yang tergabung dalam Persekutuan Naomi—kaum yang tahu betapa dalamnya kehilangan, betapa sunyinya malam tanpa sapaan, dan betapa sepinya kursi kosong di samping meja makan. Firman Tuhan hari ini datang bukan dari menara gading, melainkan dari dasar kasih yang mengenal luka perempuan yang ditinggalkan oleh waktu dan hidup. Yesaya, sang nabi, menyampaikan kata-kata Allah bagi umat yang merasa seperti janda—sendiri, tidak lagi dianggap, dan cenderung disingkirkan. Tetapi di tengah kondisi itu, suara Tuhan terdengar lembut namun teguh: "Janganlah takut." Kata-kata ini bukan basa-basi religius. Ia seperti pelukan bagi jiwa yang retak. Tuhan tidak berkata, “Jangan sedih.” Ia tidak berkata, “Lupakan semua itu.” Ia justru berkata, “Aku tahu, dan Aku dekat.” Ia menyebut aib kejandaan, luka masa lalu, dan rasa malu yang terkubur dalam diam, karena Ia bukan Allah yang jauh dari air mata. Ia adalah Tuhan yang mengunjungi kemah janda, yang duduk di samping kita ketika semua orang pulang. Yang tahu berapa kali kita berusaha terlihat kuat, padahal di dalam kita rapuh seperti tanah liat yang pernah pecah. Ayat lima membawa kita pada penghiburan yang lebih dalam: “Yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam nama-Nya.” Tuhan menyebut diri-Nya sebagai Suami—bukan sebagai pengganti yang sementara, tetapi sebagai penopang yang kekal. Dalam budaya saat itu, seorang janda tanpa anak atau saudara laki-laki sangat rentan, tetapi Tuhan tidak membiarkan kekosongan itu menjadi kehancuran. Ia masuk ke dalam relasi yang paling intim dan menyebut kita sebagai yang dikasihi, bukan sekadar yang dikasihani. Ini bukan janji palsu; ini perjanjian kasih yang menyentuh tulang dan sumsum kita. Kita tahu, rasa kehilangan tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan setelah bertahun-tahun, nama yang kita sebut dalam doa malam masih membuat dada hangat atau sesak. Tetapi ayat 7 dan 8 menyatakan bahwa jika kehilangan itu seperti musim dingin, maka kasih Tuhan adalah matahari yang perlahan menghangatkannya. “Hanya sesaat Aku meninggalkan engkau,” kata-Nya. Di hadapan kekekalan, luka ini hanya sesaat. Dalam waktu Tuhan, air mata kita hanyalah benih yang disiram kasih setia, dan kelak akan bertunas menjadi pengharapan. Maka, wahai para ibu Naomi, firman hari ini bukan sekadar untuk dikenang, melainkan untuk dihidupi. Bahwa kita tidak hidup dengan sisa-sisa masa lalu, tapi dengan kekuatan dari kasih Tuhan yang baru tiap pagi. Bahwa menjadi janda bukan berarti hidup kita selesai. Justru dari pelataran sunyi, doa-doa para ibu inilah yang mengangkat gereja. Dari tangan yang keriput, kasih sejati untuk keluarga dan sesama masih mengalir. Dari hati yang pernah remuk, penghiburan bagi generasi berikutnya dapat mengalir. Di tengah dunia yang terus bergerak, suara Tuhan tetap sama: “Dengan kasih setia yang besar Aku mengasihani engkau.” Bukan kasih yang usang, bukan kasih yang terbatas, tetapi kasih yang tetap bertahan bahkan setelah cinta manusia berlalu. Maka, meski cinta telah pergi, kasih Tuhan tetap tinggal. (Disampaikan dalam Ibadah Ibu Naomi GKPI Air Bersih)
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah