Tuhan Masih Mendengar
    Nas: Nehemia 1:1–11 | Ibadah Minggu
    🗓️ Tanggal: 02 Nov 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Kita hidup di masa ketika begitu banyak suara berserakan di udara, tetapi hanya sedikit yang sungguh-sungguh didengar. Dunia digital memang memberi ruang bagi setiap orang untuk berbicara, namun kebebasan itu sering berubah menjadi kebisingan yang menenggelamkan makna. Dalam derasnya arus kata dan opini, banyak hati justru kehilangan ruang untuk didengarkan. Suara manusia bergema di ruang virtual, tetapi kehangatan percakapan perlahan menghilang dari ruang nyata. Akibatnya, bahkan di dalam rumah sendiri, di antara orang-orang yang tinggal di bawah satu atap, keintiman untuk saling mendengar pun kian menipis. Masyarakat menjadi riuh dan bergegas; kesedihan disembunyikan di balik senyum yang dipaksakan, dan doa terasa seperti gema yang memantul tanpa arah. Semua ini menyingkapkan kenyataan pahit bahwa manusia modern hidup di tengah keramaian suara, namun kehilangan pengalaman paling mendasar: didengarkan—oleh sesama, oleh dirinya sendiri, bahkan oleh Tuhan.
Dalam konteks ini, menarik untuk menengok pandangan Martin Heidegger (1889–1976), filsuf eksistensialis Jerman yang menilai, mendengar bukanlah tindakan pasif, melainkan sikap eksistensial untuk membuka diri terhadap “suara keberadaan.” Bagi Heidegger, mendengar berarti keluar dari diri sendiri untuk menyambut makna yang datang dari luar; sebuah kesiapsediaan untuk menanggapi “panggilan keberadaan.” Dalam dunia yang penuh kebisingan, kehilangan kemampuan untuk mendengar berarti kehilangan hubungan dengan yang sejati dengan sesama, dengan diri, dan dengan Yang Ilahi. Maka, pertanyaan yang sangat purba sekaligus sangat aktual pun muncul: Apakah Tuhan masih mendengar seruan umat-Nya?
Pertanyaan itu tidak asing bagi Nehemia, seorang juru minuman raja Persia yang hidup jauh dari tanah airnya, Yerusalem. Kabar tentang tembok Yerusalem yang roboh dan pintunya yang terbakar membuat hatinya turut runtuh. Ia duduk, menangis, berpuasa, dan berdoa (ay.4). Ia tidak menuduh, tidak melarikan diri dari kesalahan, tetapi mengakuinya dengan jujur. Dalam tangisnya, ia menyadari bahwa kehancuran bangsanya tidak hanya disebabkan oleh kekuatan asing, tetapi oleh kelalaian rohani umat Allah sendiri. Maka ia menghadap Tuhan bukan dengan keluh kesah kosong, melainkan dengan hati yang hancur dan iman yang teguh. Dari reruntuhan kota, lahirlah doa yang menggetarkan surga.
Doa Nehemia bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan sumber kekuatan untuk menembus kenyataan itu dengan iman. Ia berdoa, tetapi juga bersiap bertindak. Doanya mengandung tiga nada yang menyatu: pengakuan, pengingat janji, dan permohonan. Ia mengakui dosa bangsanya, “Kami telah berbuat dosa terhadap-Mu”. Kemudian, mengingatkan Tuhan akan janji pemulihan-Nya, dan akhirnya memohon keberanian untuk menjadi bagian dari solusi. Di sinilah letak kebijaksanaan rohani Nehemia: ia berdoa seolah segalanya bergantung pada Allah, tetapi ia juga bekerja seolah segalanya bergantung padanya. Seperti dikatakan Agustinus dari Hippo (354–430 M), “Berdoalah seolah-olah segala sesuatu bergantung pada Allah, dan bekerjalah seolah-olah segala sesuatu bergantung padamu.” Bagi Nehemia, doa dan tindakan bukan dua hal yang terpisah, tetapi dua denyut yang membuat iman tetap hidup.
Kisah Nehemia menjadi cermin bagi dunia kita yang juga tengah hidup di antara “reruntuhan modern.” Tembok nilai-nilai moral roboh oleh kehausan akan popularitas; pintu kasih terbakar oleh amarah dan iri hati; dan banyak hati manusia kini berdiri di atas puing relasi yang rusak. Namun seperti Nehemia, umat Tuhan dipanggil bukan hanya untuk menangisi kehancuran, tetapi juga membangun kembali kehidupan yang retak. Pemulihan tidak lahir dari keluhan, tetapi dari doa yang melahirkan keberanian untuk bertindak. Inilah iman yang bekerja—iman yang tidak diam di altar, tetapi berjalan ke tengah dunia yang terluka.
Doa Nehemia mengingatkan kita bahwa Tuhan bukanlah sosok jauh di balik awan, melainkan Pribadi yang menaruh telinga-Nya di bumi. Ia mendengar, bahkan ketika suara kita hanya berupa bisikan iman di tengah gemuruh dunia. Dietrich Bonhoeffer (1906–1945) pernah menulis dari balik penjara Nazi, “Doa bukanlah upaya untuk melarikan diri dari dunia, melainkan kekuatan untuk berdiri di tengah dunia dengan keberanian yang baru.” Itulah yang dialami Nehemia: doanya menyalakan keberanian untuk berdiri, bukan bersembunyi. Ketika seseorang sungguh-sungguh berdoa, ia tidak lagi sama, sebab Tuhan mengubah dirinya menjadi alat pemulihan.
Bayangkan daun-daun kering yang berbisik ditiup angin sore, nyaris tak terdengar, namun Tuhan mendengarnya. Begitulah Ia mendengarkan setiap seruan hamba-Nya. Tidak ada tangis yang terlalu lirih bagi-Nya, tidak ada doa yang terlalu kecil untuk diabaikan. Di balik kebisingan zaman, Tuhan masih mencondongkan telinga-Nya kepada mereka yang berseru dengan hati yang hancur. Doa yang lahir dari reruntuhan selalu memiliki gema surgawi, karena Tuhan tidak tuli terhadap kasih yang mengalir dari hati yang remuk.
Nehemia 1:1–11 mengajarkan, doa bukan sekadar kata yang diucapkan ke langit, tetapi jalan perjumpaan antara kerendahan hati manusia dan kesetiaan Allah. Tuhan mendengar seruan hamba-Nya bukan karena kemuliaan kata-katanya, tetapi karena kejujuran hatinya. Dalam dunia yang bising dan terburu-buru, ketika banyak orang merasa doa hanyalah suara yang hilang di udara, kisah Nehemia menegaskan sebaliknya: Tuhan masih mendengar. Ia mendengar seruan yang lahir dari hati yang berserah, dari iman yang tidak menyerah, dan dari kasih yang tetap menyala di tengah reruntuhan.
Oleh karena itu, renungan ini menjadi pelengkap sekaligus koreksi terhadap perspektif Heidegger tentang mendengar. Jika baginya mendengar adalah keterbukaan manusia terhadap keberadaan, maka dalam terang iman kita mengetahui bahwa mendengar sejati justru dimulai dari Allah yang lebih dahulu mendengar manusia. Ia adalah Pendengar yang tidak hanya memahami suara, tetapi juga maksud di baliknya. Ketika dunia kehilangan pendengar, Tuhan justru hadir sebagai Pendengar yang sejati. Ia tidak menutup telinga terhadap tangisan umat-Nya. Ketika manusia modern merasa sunyi di tengah keramaian, Tuhan menunjukkan, Ia masih dekat, masih peka, masih peduli. Ia memanggil kita menjadi seperti Nehemia, dia yang berani menangis, berani berdoa, dan berani membangun kembali tembok kasih di tengah masyarakat yang retak. Sebab setiap seruan yang naik dari hati tulus, tidak akan lenyap di udara; ia akan sampai ke telinga Tuhan, dan dari sanalah lahir kekuatan untuk memulihkan dunia yang kehilangan suara kasih.    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah