Logos yang Membangun: Ucapan Sebagai Tanda Iman
    Nas: Yakobus 3:2-10 | Ibadah Lainnya
    đď¸ Tanggal: 24 Oct 2025
    đ¤ Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      PENDAHULUAN
Fenomena komunikasi di kalangan remaja masa kini memperlihatkan perubahan besar dalam cara berbicara dan berekspresi. Dunia digital telah menjadikan ucapan tidak lagi terbatas pada suara, tetapi juga pada tulisan, emoji, komentar, dan unggahan yang tersebar dengan cepat di ruang publik. Kata-kata yang diucapkan atau ditulis bisa menjadi sumber semangat, namun juga dapat menjadi alat penghancur martabat orang lain. Budaya instant expressionâkeinginan untuk segera menanggapi, mengomentari, dan menilaiâmendorong banyak remaja berbicara tanpa refleksi. Di balik kebebasan berkomunikasi itu, muncul paradoks: semakin mudah orang berbicara, semakin sering pula kata kehilangan makna dan tanggung jawab moralnya.
Dalam konteks inilah Yakobus 3:2â10 berbicara dengan relevansi yang tajam. Yakobus menyoroti lidah sebagai bagian kecil dari tubuh, tetapi memiliki kuasa besar untuk membangun atau merusak. Ia tidak hanya memperingatkan tentang bahaya kata-kata yang tak terkendali, tetapi juga mempromosikan disiplin rohani dalam bertuturâsebuah kemampuan untuk menata ucapan dalam terang iman dan kasih. Pesan ini bukan sekadar etika moral, melainkan ajakan menuju kedewasaan spiritual: bahwa cara seseorang berbicara menunjukkan siapa yang menguasai hatinya. Bagi remaja Kristen, Yakobus mengajak untuk melihat ucapan sebagai sarana pertumbuhan diri, sarana membangun relasi, dan tanda identitas sebagai pengikut Kristus di tengah dunia yang penuh kebisingan verbal.
Yakobus 3:2â10 dengan demikian menawarkan spiritualitas tutur: berbicara bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang membentuk karakter dan kesaksian. Ucapan yang baik tidak lahir dari keinginan untuk menonjolkan diri, melainkan dari hati yang ditata oleh kasih Allah. Dalam kehidupan remaja, di mana identitas masih terus dibentuk, pengendalian terhadap ucapan menjadi latihan rohani yang penting. Melalui kata-kata yang menghidupkan, menghargai, dan meneguhkan, remaja belajar menghadirkan kasih Kristus dalam setiap percakapanâbaik di dunia nyata maupun digital.
UCAPAN
Dalam Yakobus 3:2, kata logos (ÎťĎγοĎ) diterjemahkan sebagai âperkataanâ, namun maknanya jauh lebih mendalam daripada sekadar ucapan. Dalam dunia Yunani klasik, terutama dalam pemikiran Herakleitos, logos dipahami sebagai prinsip rasional yang mengatur keteraturan kosmosâsuatu kekuatan yang memberi makna dan arah bagi segala sesuatu. Dalam dunia filsafat Helenistik, logos juga dilihat sebagai sarana ekspresi kesadaran batin manusia, yaitu kemampuan untuk mengungkapkan pikiran secara etis dan rasional. Dengan demikian, ketika Yakobus menggunakan istilah logos, ia tidak hanya berbicara tentang kemampuan berbicara, melainkan tentang kapasitas moral seseorang yang terwujud melalui ucapannya.
Bagi Yakobus, logos adalah cermin batin yang menyingkapkan integritas seseorang. Barangsiapa mampu menguasai logos-nyaâyakni, menata ucapan dengan bijak dan benarâia menunjukkan kematangan rohani dan kedewasaan moral. Dalam pandangan ini, logos tidak lagi sekadar produk linguistik, tetapi menjadi alat etis yang mengukur sejauh mana seseorang mampu menata dirinya dalam terang iman. Tuturan yang terarah dan terkendali adalah tanda bahwa batin manusia telah ditata oleh hikmat Allah. Maka, penguasaan terhadap logos adalah bentuk konkret dari penguasaan diri, di mana ucapan menjadi pantulan dari tatanan moral batiniah.
Pemahaman ini sejalan dengan gagasan dalam filsafat tutur (speech act theory) yang dikembangkan oleh J.L. Austin dan John Searle. Dalam teori ini, setiap ucapan bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan (performative act). Ketika seseorang berkata âAku berjanji,â ia tidak hanya mengucapkan kata, tetapi melakukan tindakan menjanjikan. Demikian pula dalam terang Yakobus, logos memiliki daya performatifâucapan seseorang tidak hanya merepresentasikan pikirannya, melainkan juga mengaktualkan realitas moral dan spiritualnya. Dengan kata lain, berbicara berarti bertindak; dan cara bertindak dalam berbicara menentukan arah etis kehidupan seseorang.
Karena itu, Yakobus melihat penguasaan terhadap logos sebagai puncak kedewasaan iman. Dalam perspektif filsafat tutur, logos adalah tindakan moral yang mengandung tanggung jawab eksistensial. Ucapan menjadi ruang di mana iman diwujudkan, kasih diekspresikan, dan karakter Kristus dihidupkan. Di sini, iman tidak berhenti pada pengakuan, tetapi menjelma menjadi praksis tutur yang membangun, meneguhkan, dan memberkati.
Dengan demikian, logos dalam Yakobus 3:2 mengajarkan bahwa iman sejati berakar pada disiplin tuturan. Menguasai logos berarti menata diri untuk berkata, berpikir, dan bertindak dalam keselarasan etis. Dalam terang Kristus, logos menjadi âlogika kasihââsuatu pola berpikir dan berbicara yang menumbuhkan kehidupan, bukan menebar luka. Dari mulut yang dikuasai kasih, mengalir ucapan yang menyembuhkan dunia.
UCAPAN DAN PERTUMBUHAN RELASI
Dalam Yakobus 3:9 tertulis, âDengan lidah kita memuji Tuhan dan Bapa kita, dan dengan lidah itu juga kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah.â Ayat ini menyingkap paradoks yang tajam tentang kekuatan logosâbahwa dari sumber yang sama dapat keluar berkat dan kutuk. Yakobus menyoroti inkonsistensi moral yang terjadi ketika ucapan kehilangan arah spiritualnya. Di sinilah logos kembali menjadi pusat refleksi etis: bukan sekadar alat komunikasi, tetapi cermin integritas rohani yang menunjukkan siapa kita di hadapan Allah. Dalam terang ini, ucapan tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas; ia adalah medan tempat iman menjadi konkret dan terbaca.
Pertama, ucapan menjadi sarana untuk saling bertumbuh. Dalam kerangka filsafat tutur (speech act theory), setiap ucapan adalah tindakan yang menciptakan realitas. Kata-kata tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga membentuknya. Ketika seseorang mengucapkan kata yang penuh kasih, pengampunan, atau penguatan, ia tidak sekadar menyampaikan pesan, melainkan melakukan tindakan yang menumbuhkan kehidupan rohani orang lain. Dengan demikian, ucapan yang benar adalah tindakan performatif yang bersifat membangun (constructive act). Yakobus menegaskan bahwa ketidakkonsistenan dalam ucapanâmemuji Tuhan sekaligus mengutuk sesamaâadalah bentuk disintegrasi moral, sebab orang yang diciptakan menurut gambar Allah seharusnya menjadi penerima berkat, bukan sasaran kutuk. Dalam komunitas iman, kata-kata menjadi ruang di mana kasih diwujudkan dan pertumbuhan rohani dipupuk; ia adalah bentuk pelayanan sehari-hari melalui tutur.
Kedua, ucapan berfungsi sebagai penanda identitas sebagai pengikut Kristus. Dalam teologi Yakobus, iman tidak pernah hanya berhenti pada doktrin, melainkan terwujud dalam etika praktis, termasuk etika berbicara. Cara seseorang menggunakan logos-nya memperlihatkan orientasi batinnyaâapakah ia hidup dari hikmat surgawi atau hikmat duniawi. Dalam perspektif speech philosophy, identitas manusia terwujud dalam tindak tutur: seseorang menjadi âyang berimanâ bukan hanya karena ia percaya, tetapi karena ia berkata dan bertindak sesuai dengan imannya. Dengan demikian, perkataan yang memuliakan Allah sekaligus menghormati sesama menjadi tanda keaslian spiritualitas Kristiani. Ucapan yang mengutuk, sebaliknya, meniadakan kesaksian iman karena menyalahi logika kasih yang menjadi inti Injil.
Oleh sebab itu, kesinambungan antara Yakobus 3:9 dan filsafat tutur menegaskan bahwa berbicara adalah tindakan moral dan spiritual. Dalam setiap kata, iman diuji dan kasih diwujudkan. Ucapan bukan sekadar getaran suara, melainkan peristiwa eksistensial di mana manusia memperlihatkan siapa dirinya dan kepada siapa ia menyerahkan hidupnya. Dalam terang Kristus, logos tidak boleh menjadi sumber luka, tetapi menjadi wadah penyembuhan; tidak menjadi alat penghakiman, melainkan jembatan pertumbuhan. Maka, ketika lidah digunakan untuk memuliakan Allah dan membangun sesama, di sanalah logos mencapai hakikat sejatinya: menjadi pantulan kasih Allah yang hidup di dalam manusia.
UCAPAN DAN KEHIDUPAN REMAJA
Dalam kehidupan remaja Kristen masa kini, pemahaman tentang logos sebagaimana diajarkan Yakobus memiliki relevansi yang sangat nyata. Dunia digital yang menjadi ruang utama interaksi remaja tidak lagi membatasi âucapanâ pada bentuk lisan semata, tetapi juga pada segala bentuk komunikasi daringâstatus media sosial, komentar, pesan singkat, bahkan emoji yang disertakan. Di ruang inilah logos tampil sebagai kekuatan yang membangun atau menghancurkan. Yakobus mengingatkan bahwa apa yang keluar dari lidahâatau dalam konteks modern, dari jari-jari yang mengetikâadalah cerminan dari isi hati dan kualitas iman seseorang. Maka, penguasaan diri dalam berkata menjadi bagian dari pertumbuhan rohani remaja, karena melalui tutur yang terkendali, seseorang belajar menata batinnya dalam hikmat Kristus.
Remaja Kristen hidup di tengah budaya yang sering menjadikan kata-kata sebagai alat ekspresi tanpa refleksi. Banyak remaja merasa bebas berbicara apa saja di media sosial, tanpa menyadari bahwa setiap kata adalah tindakan moral yang memiliki konsekuensi. Dalam terang filsafat tutur, ucapan bukan hanya âkataâ tetapi âperbuatanâ. Ketika seorang remaja menulis kata-kata penguatan kepada temannya yang sedang berjuang, ia sedang melakukan tindakan kasih. Sebaliknya, ketika ia menuliskan ejekan atau sindiran, ia sedang melakukan tindakan yang melukai. Di sinilah ajaran Yakobus menjadi aktual: ucapan yang keluar dari diri seorang remaja haruslah menjadi constructive actâtindakan yang menumbuhkan iman, memperkuat persahabatan, dan menyalurkan kasih Allah di tengah komunitasnya.
Lebih dari itu, ucapan menjadi penanda identitas remaja sebagai pengikut Kristus. Di tengah tekanan sosial dan pencarian jati diri, cara seorang remaja berbicaraâbaik secara langsung maupun digitalâmenjadi kesaksian iman yang paling nyata. Tuturan yang lembut, menghargai, dan jujur mencerminkan batin yang ditata oleh Roh Kudus. Sebaliknya, ucapan yang kasar, sarkastik, atau penuh kebencian menunjukkan batin yang belum dikuasai kasih. Dengan demikian, logos menjadi semacam âtanda pengenal rohaniâ: melalui cara berbicara, dunia melihat siapa yang menjadi pusat hidup seorang remaja. Dalam hal ini, etika tutur bukanlah beban moral, melainkan ekspresi alami dari iman yang hidup.
Ketika remaja Kristen belajar menata ucapannya, ia sesungguhnya sedang membangun fondasi spiritual yang matang. Dalam pergaulan, ia menjadi pembawa damai melalui kata-kata yang menenangkan; dalam keluarga, ia menyalurkan kasih dengan tutur yang menghormati; dan dalam dunia digital, ia menjadi saksi Kristus melalui komentar yang bijaksana. Dengan demikian, ajaran Yakobus dan filsafat tutur berpadu dalam praksis hidup remaja masa kini: bahwa berbicara adalah tindakan iman, dan setiap ucapan adalah kesempatan untuk memperlihatkan kasih Allah yang bekerja dalam diri manusia muda yang sedang bertumbuh. Dari lidah yang dijaga dan hati yang ditata, iman remaja tidak hanya diucapkan, tetapi dihidupi dalam setiap kata yang keluar darinya.
==========
Khotbah disampaikan dalam Ibadah SMA Negeri 5 Medan. Jika butuh kerangka khotbah, kunjungi tautan :https://gkpiairbersih.org/pusatunduhan/files/68fae5388e4b7.pdf    
    
  đ¤ Bagikan via WhatsApp
    â Kembali ke Daftar Khotbah