Logo GKPI

Daya Tahan Melalui Perjumpaan Dengan Allah

Nas: Lukas 18:1-8 | Ibadah Sektor
šŸ—“ļø Tanggal: 21 Oct 2025
šŸ‘¤ Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

šŸ•Šļø PENDAHULUAN Dalam pengalaman manusia modern, doa sering kali kehilangan kedalaman eksistensialnya. Ia menjadi rutinitas mekanis, sekadar kata yang diucapkan, bukan perjumpaan yang dihidupi. Dalam hiruk pikuk dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian, manusia modern mudah kehilangan ruang hening untuk menyadari keberadaannya di hadapan Yang Ilahi. Nas ini mengajak kita untuk kembali pada pengalaman dasar manusia dalam berdoa, bukan sebagai konsep religius yang abstrak, tetapi sebagai pengalaman batin yang konkret: rasa lemah, kebutuhan akan makna, dan kerinduan untuk didengar. Lukas 18:1–8 menyingkap lapisan terdalam dari pengalaman ini melalui tokoh seorang janda yang terus datang kepada hakim yang tidak adil. Ia menghadirkan fenomena iman dalam bentuk yang paling murni, ketekunan yang lahir dari ketidakberdayaan. Dalam diri janda itu, kita melihat diri kita sendiri: manusia yang mencari keadilan di tengah sistem yang tidak peduli, yang berdoa meski langit seakan tertutup, yang terus datang meski tak tahu kapan jawabannya tiba. Di sinilah inti pesan perikop ini tampak, doa sejati bukanlah upaya untuk menggerakkan hati Allah, melainkan proses di mana hati manusia digerakkan untuk tetap percaya kepada-Nya. Konsep doa yang dihadirkan Lukas menyingkapkan, di balik setiap permohonan, terdapat pergumulan eksistensial antara iman dan keputusasaan. Yesus, melalui perumpamaan ini, tidak hanya mengajarkan tentang doa, tetapi mengajak pendengarnya mengalami doa, sebagai perjumpaan antara kerapuhan manusia dan kesetiaan Allah. Dengan demikian, inti nas ini bukan sekadar perintah untuk ā€œselalu berdoa dan tidak putus asaā€, melainkan panggilan untuk mengalami doa sebagai ruang kesadaran di mana iman diuji, kesetiaan diperdalam, dan kasih Allah ditemukan di tengah kepahitan dunia. šŸ™ BERDOA: PERJUMPAAN DENGAN ALLAH Ayat pembuka dari Lukas 18 mengajak kita untuk melihat doa bukan sekadar sebagai kewajiban atau kebiasaan, tetapi sebagai perjumpaan dengan Allah yang hidup. Yesus berkata supaya murid-murid-Nya selalu berdoa dan tidak putus asa. Kata-kata itu sederhana, tetapi maknanya sangat dalam. Ia mengundang kita untuk datang kepada Allah bukan hanya ketika butuh sesuatu, melainkan untuk hadir dan berdiam di hadapan-Nya. Dalam doa yang sejati, kita tidak lagi seperti orang yang cemas menunggu jawaban, melainkan seperti sahabat yang tenang karena tahu bahwa Allah mendengarkan dan hadir. Lukas menulis perumpamaan ini bagi orang-orang yang mulai lelah menanti jawaban Tuhan. Mereka merasa seperti janda dalam cerita itu—tidak berdaya, tidak punya pengaruh, dan sering diabaikan oleh dunia. Tetapi janda itu terus datang, terus berharap, terus berseru. Ia tidak berhenti karena tahu bahwa satu-satunya tempat ia bisa bergantung hanyalah kepada Tuhan. Doa yang demikian bukan hanya kata-kata yang diulang, melainkan tindakan iman yang terus percaya meskipun keadaan belum berubah. Yesus ingin mengajarkan bahwa doa bukanlah soal hasil yang cepat, tetapi tentang arah hati yang tetap berpaut kepada Allah. Dalam seluruh Injil Lukas, Yesus sendiri sering digambarkan berdoa—sebelum mengambil keputusan, di saat penolakan, bahkan menjelang kematian. Ia menunjukkan bahwa doa adalah tempat di mana manusia menyerahkan kehendaknya agar sejalan dengan kehendak Bapa. Melalui perjumpaan itu, hati yang lemah menjadi kuat, dan kehendak yang goyah menjadi teguh. Dalam perjumpaan dengan Allah, kita belajar empat hal penting. Pertama, kita belajar hadir—berdiam dalam keheningan dan menyadari bahwa kita tidak sendiri. Kedua, kita belajar mengenali diri sendiri, karena di hadapan Allah kita tidak perlu berpura-pura. Ketiga, kita dibentuk untuk memiliki daya tahan, karena kasih Allah memberi kekuatan untuk menanggung kepahitan hidup. Dan keempat, kita mengalami perubahan cara pandang—bahwa dunia yang keras ini pun dapat kita hadapi dengan hati yang lembut. Karena itu, doa sejati bukan soal panjangnya waktu atau banyaknya kata, melainkan kesetiaan hati untuk tetap datang kepada Allah, bahkan ketika langit terasa tertutup. Kadang Tuhan tampak diam, tetapi dalam diam itu Ia sedang menumbuhkan sesuatu yang berharga dalam diri kita: kesabaran, kerendahan hati, dan iman yang tahan uji. 🌊 DARI DOA MENUJU DAYA TAHAN: MENANGGAPI KEPAHITAN DUNIA Bayangkan seorang janda yang duduk di malam hari, menunggu jawaban yang belum datang. Dunia mungkin tidak berubah, tetapi hatinya menjadi kuat karena ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Begitu pula dengan kita—setiap kali berdoa, kita sedang berjalan menuju Allah, bukan untuk mengubah hati-Nya, tetapi agar hati kita sendiri diubah oleh kasih-Nya. Doa bukan lagi sekadar permintaan; ia menjadi rumah bagi jiwa yang rindu untuk bertemu dengan Allah dan menemukan kekuatan untuk bertahan. Dalam terang teologi resiliensi atau daya tahan, kisah janda yang terus memohon kepada hakim yang tidak adil dalam Lukas 18:1–8 bukan sekadar gambaran tentang ketekunan doa, tetapi tentang daya tahan iman yang lahir dari perjumpaan dengan Allah. Dunia yang ia hadapi keras dan penuh ketidakpedulian, seperti dunia yang kita hidupi sekarang, sistem yang sering mengabaikan suara orang kecil. Walau demikian, janda itu tidak berhenti datang. Ia tidak memiliki kekuasaan sosial atau dukungan struktural, tetapi memiliki satu hal yang tidak bisa dirampas: keteguhan batin yang bersumber dari iman. Di sinilah inti teologi resiliensi muncul: ketahanan sejati tidak dibangun di atas kekuatan lahiriah, melainkan dari akar spiritual yang tertanam melalui hubungan akrab dengan Allah yang hidup. Teologi resiliensi mengajarkan, iman tidak menghapus penderitaan, tetapi memberi makna baru bagi penderitaan itu. Dalam doa, seseorang belajar melihat kesulitan bukan sebagai tanda Allah meninggalkan, melainkan sebagai tempat Allah membentuk karakter yang tahan uji. Janda dalam perumpamaan itu berjumpa dengan Allah bukan melalui mukjizat yang segera datang, tetapi melalui proses panjang dari doa yang tidak berhenti. Di situ doa menjadi ruang transformasi, tempat jiwa dibentuk agar tidak bergantung pada sistem dunia, melainkan pada kasih yang tidak tergoyahkan. Doa yang demikian melahirkan daya tahan spiritual — kekuatan untuk terus berjalan meski jalan itu berat, karena di dalam batinnya tumbuh keyakinan bahwa Allah yang diam pun tetap mendengar. Dengan demikian, perjumpaan dalam doa menjadi dasar bagi ketahanan iman di tengah dunia yang pahit. Ia mengubah penderitaan dari sekadar beban menjadi sarana pertumbuhan rohani. Ketika manusia terus berdoa, ia sesungguhnya sedang meneguhkan akar imannya agar tidak tercabut oleh badai kehidupan. Di sanalah teologi resiliensi menemukan maknanya yang terdalam: Allah tidak selalu menyingkirkan penderitaan, tetapi hadir di dalamnya, membentuk kita menjadi pribadi yang kuat karena pernah remuk, dan teguh karena pernah bertahan dalam kasih-Nya. Yesus menutup perumpamaan ini dengan sebuah pertanyaan yang mengguncang hati: ā€œJika Anak Manusia datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?ā€ (Lukas 18:8b). Pertanyaan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyingkap kenyataan bahwa kepahitan dunia: ketidakadilan, keterlambatan, dan penderitaan, sering kali menjadi ujian paling tajam bagi iman kita. Dalam situasi semacam itu, doa bukan sekadar seruan minta tolong, melainkan ikatan yang menjaga kita tetap berpaut pada Allah ketika segalanya terasa gelap. Dunia yang pahit dapat mengikis pengharapan, tetapi doa menjadikan hati tetap berdenyut dengan keyakinan bahwa kasih Allah tidak pernah surut. Tanpa doa, penderitaan mudah berubah menjadi jurang yang menelan iman dan menumbuhkan kepahitan batin. Namun dengan doa, penderitaan justru menjadi tanah tempat iman bertumbuh—seperti akar yang menembus kerasnya bumi untuk menemukan air kehidupan. Di sanalah kita belajar bahwa kesetiaan bukan berarti tidak pernah lemah, tetapi terus bertahan dan datang kepada Allah meski tidak ada jawaban cepat. Kepahitan dunia menjadi arena di mana iman diuji dan dimurnikan, agar kita tidak hanya mengenal Allah sebagai penolong, tetapi sebagai Sahabat yang berjalan bersama dalam gelap sekalipun. Doa, dalam kedalaman maknanya, adalah bentuk kenosis batin, sebuah penanggalan diri dari dorongan untuk mengatur, menguasai, dan menentukan bagaimana Allah harus bertindak. Di saat manusia berdoa dengan tulus, ia sedang mengosongkan ruang dalam dirinya agar kasih dan kehendak Allah dapat berdiam di sana. Dalam pengosongan itu, manusia tidak kehilangan jati diri, melainkan menemukan dirinya yang sejati di hadapan Sang Pencipta. Doa bukan pelarian dari realitas dunia, tetapi proses penyelaman ke dalam misteri kasih yang memperbarui cara kita memandang dunia. Di dalam doa, manusia berhenti menuntut jawaban instan dan mulai belajar mempercayai irama Allah yang bekerja di balik keheningan. Ketika seseorang sungguh-sungguh berdoa, ia tidak sedang meninggalkan dunia, melainkan sedang dipersiapkan untuk kembali ke dunia dengan hati yang lembut dan jiwa yang tangguh. Dengan demikian, doa menjadi peristiwa transformasi — tempat di mana kehendak manusia dibenamkan dalam kasih Allah, dan dari sana lahirlah keberanian untuk mengasihi, bertahan, dan melayani di tengah kepahitan hidup. šŸ’« PENUTUP Fenomenologi doa yang diungkapkan dalam Lukas 18:1–8 membawa kita kembali kepada inti keberadaan manusia yang terdalam: makhluk yang rapuh, tetapi juga mampu berharap; yang sering kalah oleh kenyataan, namun tidak kehilangan arah menuju Allah. Dalam dunia modern yang dipenuhi kebisingan, manusia mudah kehilangan kemampuan untuk mengalami, bukan sekadar mengetahui kehadiran Ilahi. Karena itu, Yesus melalui perumpamaan janda yang tekun ini tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana berdoa, melainkan bagaimana menjadi manusia yang tetap hidup dalam iman, meski berada di tengah dunia yang tidak selalu adil, atau dalam pengalaman-pengalaman pahit yang kadangkala membuat kita terpuruk. Doa menjadi jalan pulang menuju kesadaran diri dan kehadiran Allah. Ia menyingkapkan, dalam setiap keluhan dan air mata, tersembunyi undangan untuk mengalami kasih yang melampaui logika. Ketika manusia berdoa, ia sedang menanggalkan kendali, melakukan kenosis batin, agar kehendak Allah menemukan tempat di dalam dirinya. Di sanalah doa berhenti menjadi ritual, dan berubah menjadi relasi; berhenti menjadi kewajiban, dan menjadi perjumpaan yang menghidupkan. Pada akhirnya, pesan Lukas 18 bukan hanya ajakan untuk terus berdoa, melainkan panggilan untuk menghidupi doa itu sendiri: menjadikannya ruang di mana iman berakar di tengah kepahitan, harapan tumbuh di dalam keheningan, dan kasih Allah dihayati dalam kesetiaan yang sederhana. Dalam dunia yang kian kehilangan kedalaman spiritual, doa menjadi tindakan paling manusiawi sekaligus paling ilahi, sebuah keheningan yang meneguhkan bahwa di balik setiap penderitaan, Allah masih hadir, mendengarkan, dan menumbuhkan kekuatan untuk bertahan dalam kasih-Nya yang tidak berubah.
šŸ“¤ Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah