Mengerjakan Interkarnasi Injil
    Nas: Roma 1:8-15 | Ibadah Minggu
    đď¸ Tanggal: 12 Oct 2025
    đ¤ Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Secara sosiologis, segregasi adalah proses sosial yang memisahkan individu atau kelompok berdasarkan perbedaan etnis, status, ideologi, atau keyakinan, bukan hanya secara fisik tetapi juga simbolikâmenciptakan batas antara âkamiâ dan âmereka.â Di era digital, segregasi hadir dalam bentuk fragmentasi sosial digital, ketika algoritma dan afiliasi membangun gelembung pandangan yang menyingkirkan perbedaan. Dalam gereja, hal ini tampak dalam komunitas eksklusif rohani yang menafsir keserupaan sebagai kesatuan dan memandang perbedaan sebagai ancaman. Segregasi sering lahir dari kebutuhan manusia untuk merasa aman di tengah yang serupa, namun ketika rasa aman itu menolak yang berbeda, ia berubah menjadi kekerasan simbolik yang melukai tanpa suara. Karena itu, menjelang Sidang Amang Pendeta (SAP) GKPI 2025, kesadaran akan bahaya segregasi menjadi penting agar ruang perjumpaan gereja benar-benar menjadi tempat di mana Injil bekerja secara interkarnatifâmenyatukan, bukan memisahkan.
Inkarnasi adalah misteri kasih Allah yang tak terukurâin carne, Allah masuk ke dalam daging manusia, bukan sekadar mengambil rupa, tetapi sungguh menyatu dengan sejarah dan luka manusia. Ketika Yohanes menulis bahwa âFirman itu telah menjadi manusiaâ (Yoh. 1:14), ia tidak sedang menyatakan peristiwa metafisik belaka, melainkan penggenapan kasih Allah yang hadir dalam tubuh, bahasa, dan realitas manusia. Dalam pemikiran Athanasius dari Aleksandria, Inkarnasi adalah tindakan ilahi yang memulihkan kemanusiaan: âIa menjadi manusia supaya kita dijadikan serupa dengan Allah.â Artinya, Inkarnasi bukan hanya tentang Allah yang turun ke bumi, tetapi tentang manusia yang diangkat kembali ke dalam persekutuan dengan Allah.
Dari pemahaman ini lahirlah gagasan interkarnasiâdari kata inter (di antara, saling, menjembatani) dan carne (tubuh). Jika Inkarnasi menandai kehadiran Allah dalam satu tubuh manusia, maka interkarnasi menandai kehadiran Allah di antara banyak tubuhâdalam relasi, perjumpaan, dan komunitas. Interkarnasi mengajak gereja untuk tidak berhenti pada iman yang personal, tetapi menghidupi iman yang relasional. Dalam persekutuan, interkarnasi berarti menghadirkan kasih Allah di antara tubuh-tubuh yang berbeda: di antara mereka yang berbeda latar belakang, pandangan, atau cara berpikir.
Melalui interkarnasi, Injil tidak lagi hanya menjadi pesan yang kita sampaikan, tetapi kehidupan yang kita bagikan. Dalam konteks persekutuan, artinya kita membiarkan Kristus menjembatani jarak di antara kitaâmengubah pertemuan menjadi persekutuan, dan perbedaan menjadi harmoni. Gereja yang hidup dalam semangat interkarnasi tidak sekadar berkumpul dalam satu gedung, tetapi bersedia saling menanggung, saling memahami, dan saling menembus dinding perbedaan. Di sanalah kasih Allah menjadi nyata: bukan sebagai ajaran, melainkan sebagai tubuh yang hidup, yang saling memeluk dan menyembuhkan. Inkarnasi membuat Allah hadir di tengah manusia; interkarnasi membuat manusia hadir bagi sesamanya dalam kasih Allah yang sama.
Surat Roma adalah surat yang ditulis dari kerinduan yang dalam, bukan sekadar untuk menegaskan ajaran, melainkan untuk menghadirkan perjumpaan yang meneguhkan iman. Paulus menulis kepada jemaat yang belum pernah ia jumpai secara langsung, namun dalam roh ia telah menyatu dengan mereka melalui doa dan kasih (ayat 8â10). Di sini tampak wajah Injil yang sejatiâInjil yang tidak berhenti pada kata, tetapi menjumpai dalam relasi. Ketika Paulus berkata bahwa ia rindu berjumpa untuk memberikan karunia rohani agar mereka diteguhkan (ayat 11â12), ia sedang menggambarkan semangat interkarnasiâhadir bukan untuk menguasai, melainkan untuk saling meneguhkan dalam Kristus.
Perjumpaan ini membawa konsekuensi sosial dan teologis yang besar. Di Roma, gereja terdiri dari dua latar belakang utama: orang Yahudi yang telah mengenal hukum dan tradisi leluhur, serta orang Yunani (atau non-Yahudi) yang datang dari dunia filsafat dan rasionalitas. Dalam simbol komunal ini, Injil tampil sebagai daya yang menjembatani dua dunia yang berbeda: dunia iman yang berakar pada perjanjian (Yahudi) dan dunia kebijaksanaan yang berakar pada pencarian makna melalui langkah-langkah filosofis dan rasionalitas (Yunani). Paulus menyebut dirinya berhutang kepada orang Yunani maupun bukan Yunani, kepada orang terpelajar maupun tidak terpelajar (ayat 14). Kata âberhutangâ menunjukkan kesadaran etis dan teologis bahwa Injil bukan milik satu bangsa atau budaya; Injil adalah milik kasih Allah yang melampaui sekat-sekat manusia. Di sinilah konsekuensi Injil menjadi nyataâInjil tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga mendamaikan; tidak hanya mengubah hati, tetapi juga menata ulang hubungan antarmanusia.
Dalam simbol personal, perjumpaan antara Paulus dan jemaat Roma adalah cermin dari relasi yang dihidupi oleh kasih. Paulus, seorang Yahudi dengan latar belakang farisi dan pengalaman radikal sebagai rasul bagi bangsa-bangsa lain, mengulurkan tangan kepada jemaat yang hidup di pusat kekaisaran, tempat kuasa politik dan budaya dunia bersemayam. Ia tidak datang sebagai penguasa rohani, melainkan sebagai saudara seiman yang ingin berbagi karunia agar iman mereka tumbuh bersama. Ini bukan relasi hierarkis, tetapi relasi persekutuanârelasi yang memulihkan. Dalam perjumpaan inilah interkarnasi Injil menjadi tampak: Allah hadir melalui tubuh-tubuh manusia yang saling menjumpai, saling menguatkan, dan saling memperlengkapi.
Injil yang diberitakan Paulus bukanlah proyek ekspansi agama, melainkan gerak kasih Allah yang menembus batas manusia dan menjumpai yang berbeda. Paulus tidak memandang Injil sebagai sarana untuk mengubah identitas kultural seseorang menjadi seragam, tetapi sebagai kekuatan yang memampukan setiap manusiaâbaik Yahudi maupun Yunaniâuntuk mengalami pembaruan hidup dalam Kristus tanpa kehilangan kemanusiaannya. Dalam konteks Roma, di mana beragam latar sosial, ekonomi, dan budaya saling bersinggungan, Injil hadir sebagai daya interkarnatifâkuasa yang bukan hanya masuk ke dalam kehidupan seseorang, tetapi juga hidup di antara mereka yang berbeda. Paulus menghidupi semangat ini dengan melayani lintas batas: ia berbicara dengan bahasa orang Yunani, memahami hukum Yahudi, dan menghormati realitas sosial bangsa-bangsa non-Yahudi. Pelayanannya menunjukkan bahwa Injil bukan sekadar ajaran yang disampaikan, tetapi kehidupan yang dijembatani; bukan sekadar misi konversi, tetapi perjumpaan yang memanusiakan.
Dalam konteks ini, Injil menjadi ruang di mana Allah bekerja di antara tubuh-tubuh manusia yang berlainan. Daya interkarnatif Injil membebaskan dari pandangan sempit bahwa hanya satu bentuk iman yang benar, melainkan menyingkapkan kasih yang menyatukan perbedaan dalam kesetiaan kepada Kristus. Paulus mengajarkan bahwa Injil adalah âkuasa Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percayaâ (Roma 1:16)âsetiap orang, tanpa diskriminasi, tanpa hierarki nilai. Di dalamnya, tidak ada superioritas Yahudi atas Yunani, tidak ada dominasi budaya, tidak ada kebanggaan rohani yang menyingkirkan yang lain. Yang ada hanyalah kasih yang menjumpai, merangkul, dan memulihkan.
Konsekuensi dari daya interkarnatif ini ialah lahirnya komunitas yang mempraktikkan Injil dalam wujud relasiâbukan sekadar percaya, tetapi saling menanggung; bukan hanya beribadah, tetapi saling menghormati. Dalam ruang pelayanan Paulus, Injil menjelma menjadi jembatan antara rumah-rumah jemaat, antara yang miskin dan yang kaya, antara yang berasal dari sinagoga dan dari pasar. Itulah bentuk nyata dari interkarnasi: Allah hadir dalam relasi sosial, bukan hanya dalam ruang ibadah. 
Semangat interkarnasi Injil memanggil gereja untuk menghadirkan kembali tubuh Kristus bukan sebagai simbol institusional, melainkan sebagai realitas hidup yang berdetak di tengah keberagaman. Tubuh Kristus yang hidup bukanlah tubuh yang steril dari perbedaan, melainkan tubuh yang justru berdenyut karena keanekaan anggotanya. Di dalam tubuh itu, perbedaan bukan penyakit yang harus diobati, tetapi dinamika yang harus diselaraskan agar kehidupan rohani terus mengalir. Ketika satu anggota terluka oleh kecurigaan, seluruh tubuh merasakan nyerinya; ketika satu anggota dimuliakan oleh kasih, seluruh tubuh ikut bersukacita. Maka interkarnasi bukan sekadar konsep rohani, tetapi cara gereja bernapasâmenyadari bahwa kasih Allah hanya dapat dihayati di antara tubuh-tubuh yang bersentuhan, saling menanggung, dan saling memperbarui.
Dalam terang ini, SAP 2025 bukan sekadar peristiwa administratif, melainkan momentum sakramental di mana gereja diundang untuk menghidupi misteri kehadiran Allah di antara perbedaan. Kita tidak sedang sekadar memilih pemimpin, melainkan sedang memperbaharui persekutuan tubuh Kristus agar tetap peka terhadap denyut kasih Allah. Setiap kata, setiap pilihan, setiap perjumpaan di ruang sidang adalah liturgi yang hidupâtempat Allah berdiam bukan karena kemegahan tata ibadah, melainkan karena kerendahan hati yang mau mendengar dan belajar dari yang berbeda.
Ketika kita berani menjumpai yang berbeda, kita tidak sekadar berhadapan dengan manusia lain; kita sedang berjumpa dengan wajah Kristus yang tersembunyi di balik keberagaman. Sebab Kristus sendiri adalah interkarnasi kasih AllahâIa hadir di antara manusia yang saling bertentangan, Ia menyatukan yang jauh, Ia menjembatani yang retak. Maka setiap tindakan kasih di antara perbedaan adalah perpanjangan dari gerak Ilahi itu. Gereja yang menolak perbedaan sedang menolak ruang di mana Allah berkenan hadir; sebaliknya, gereja yang memeluk keberagaman sedang membuka pintu bagi Roh Kudus untuk menata ulang ritme kehidupan persekutuannya.
Interkarnasi Injil berarti mewujudkan kasih bukan dalam ide, tetapi dalam tubuh-tubuh yang mau saling hadir. Di situlah gereja menemukan jati dirinya: bukan dalam dogma yang megah, tetapi dalam kesediaan menjadi âtubuh yang retak namun dirangkul oleh kasih.â SAP 2025 hendaknya menjadi panggung di mana perbedaan bukan bahan bakar perpecahan, tetapi nyala api pembaharuan; di mana setiap suara bukan gema ego, tetapi harmoni yang mengumandangkan satu nada: âKristuslah yang menjadi pusat segala sesuatu.â
Sebab hanya ketika tangan-tangan yang berbeda warna, pandangan, pengalaman, dan pilihan fungsionaris GKPI bersatu untuk melayani satu Tuhan, maka dunia dapat melihat bahwa Injil masih berinkarnasi di antara kita. Kasih Kristus tidak berhenti di altar, tetapi berjalan di lorong-lorong sidang, di ruang percakapan, dan di relung hati yang bersedia diubah. Di sanalah interkarnasi Injil menjadi nyata: Allah yang dahulu masuk ke dalam tubuh manusia kini berdiam di antara tubuh-tubuh gereja yang mau saling menyembuhkan. Dan dari tubuh inilah, dunia akan tahu bahwa GKPI bukan hanya organisasi, tetapi persekutuan kasihâtempat Allah terus menjumpai dan menyatukan yang berbeda dalam damai-Nya yang sempurna.
    
    
  đ¤ Bagikan via WhatsApp
    â Kembali ke Daftar Khotbah