Logo GKPI

Ketika Allah Terlihat Diam

Nas: Habakuk 1:12-17 | Ibadah Minggu
🗓️ Tanggal: 05 Oct 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, kita menyaksikan paradoks yang memilukan. Kemajuan teknologi menghadirkan kemudahan, tetapi juga mempercepat ketimpangan. Kekuasaan digunakan bukan lagi sebagai sarana pelayanan, melainkan alat dominasi. Kita melihat kejahatan yang tersusun rapi dalam sistem sosial dan ekonomi: yang kuat menindas yang lemah dengan alasan efisiensi, yang jujur terpinggirkan oleh yang licik. Bahkan, sesuatu yang baik tidak lagi diukur oleh nilai kebenaran tetapi popularitas. Hal itu terlihat dari ujaran yang sering kita nikmati: No Viral No Justice. Di tengah dunia yang seperti itu, kadang muncul pertanyaan dalam hati — di manakah Allah ketika keadilan digilas oleh logika keuntungan? Ketika kebenaran seolah tersembunyi di balik bebatuan yang tersusun rapi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak asing. Ia telah diucapkan lebih dari dua puluh lima abad lalu oleh seorang nabi yang gelisah bernama Habakuk. Habakuk hidup pada masa di mana Yehuda tenggelam dalam ketidakadilan, dan Allah mengizinkan bangsa Kasdim (Babel) yang kejam menjadi alat penghukuman bagi umat-Nya. Di situlah muncul pergumulan batin yang tajam: bagaimana mungkin Allah yang suci memakai bangsa yang lebih jahat untuk menghukum umat pilihan-Nya? Di balik seruannya, “Bukankah Engkau, ya Tuhan, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami,” tersimpan pengakuan iman yang teguh, sekaligus kebingungan yang mendalam. Habakuk tidak sedang menolak Allah; ia sedang menggugat dengan kasih, sedang menanyakan keadilan yang ia yakini harusnya berpihak kepada yang benar. Ia berdiri di antara iman dan kenyataan — dua sisi yang kerap menekan hati orang beriman hingga titik nyeri terdalam. Ketika Habakuk berkata, “Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan,” ia tidak sedang mengajarkan teologi yang baru, tetapi menegaskan ketegangan lama antara kekudusan Allah dan realitas dosa manusia. Dalam pergumulan ini, kata “memandangi” menjadi simbol paradoks — Allah tidak dapat bersekutu dengan dosa, tetapi Ia juga tidak segera memusnahkannya. Pertanyaan Habakuk, “Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat?” adalah ratapan iman yang lahir dari cinta terhadap Allah yang dirasa terlalu diam. Santo Agustinus pernah berkata, “Tuhan kadang tampak diam bukan karena Ia tidak bekerja, melainkan karena Ia sedang menata segalanya menuju keindahan yang belum kita pahami.” Dalam terang pernyataan ini, kita dapat mengerti bahwa diamnya Allah bukanlah tanda ketiadaan, melainkan bagian dari proses penebusan yang belum selesai. Habakuk kemudian melukiskan manusia seperti ikan di laut — tanpa pemimpin, tanpa arah, mudah ditangkap oleh mereka yang lebih kuat. Gambaran ini sangat relevan dengan situasi sosial masa kini. Dalam dunia yang dikuasai oleh kapital, media, dan kekuasaan, manusia sering menjadi sekadar angka dalam statistik ekonomi, objek dalam jaring kekuasaan yang lebih besar. Ketika bangsa Kasdim mempersembahkan korban bagi jala dan jaring mereka, Habakuk sedang menyingkapkan akar penyembahan modern: manusia yang menyembah alatnya sendiri, memuja sistem yang ia ciptakan, dan memandang keberhasilan sebagai ilah baru. Secara filosofis, ini adalah bentuk instrumentalisasi manusia — ketika nilai moral ditukar dengan efisiensi, dan keberadaan manusia diukur dari produktivitasnya, bukan dari martabatnya. Secara sosiologis, ini menggambarkan masyarakat yang kehilangan pusat moral, yang membenarkan kekerasan struktural dengan alasan kemajuan. Namun di tengah segala kebingungan itu, Habakuk tetap memanggil Allah dengan sebutan yang intim: “Gunung Batu.” Di sini kita melihat wajah iman yang lembut sekaligus tangguh — iman yang tidak berhenti pada keluhan, tetapi tetap berpaut kepada Allah. Habakuk tidak lari dari kebingungan, melainkan membawa kebingungannya ke dalam doa. Iman yang bertanya adalah iman yang hidup. Ia tidak memuja diam, tetapi juga tidak memaksa jawaban. Ia berjalan di dalam kabut sambil tetap percaya bahwa di balik awan, matahari kasih Allah belum padam. Diamnya Allah kadang menjadi ruang di mana manusia belajar mendengar gema jiwanya sendiri. Dalam refleksi pastoral, kita dapat melihat bahwa banyak orang yang merasa ditinggalkan Tuhan justru sedang dipanggil untuk menemukan kedalaman baru dalam imannya. Habakuk menunjukkan bahwa bertanya kepada Allah bukan tanda ketidakpercayaan, melainkan bentuk keberanian untuk tetap berelasi dengan-Nya di tengah misteri. Ketika kita berdoa dari ruang yang gelap, kita sebenarnya sedang belajar bahwa iman tidak hanya bersandar pada pengertian, tetapi pada kesetiaan. Tuhan memang bisa saja diam, tetapi diam-Nya bukanlah ketiadaan — melainkan cara Ia mengundang kita untuk tinggal lebih dalam dalam kasih-Nya. Dan di sinilah pesan pastoral itu menyentuh hati: di tengah keheningan dan ketidakpastian hidup, Allah tidak memanggil kita untuk mengerti segalanya, tetapi untuk tetap setia berjalan bersama-Nya. Ia hadir bukan selalu dalam gemuruh kemenangan, melainkan dalam kesabaran yang lembut, dalam pelukan yang tak terlihat. Ketika dunia menyanjung “jala dan jaring” keberhasilan, orang beriman diajak untuk menambatkan hatinya pada Gunung Batu yang teguh — Allah yang tidak berubah oleh waktu. Di dalam Dia, kita menemukan kedamaian yang melampaui logika, dan pengharapan yang tidak ditelan oleh gelapnya sejarah. (Khotbah Minggu di GKPI Air Bersih)
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah