Hidup yang Berbagi
    Nas: Yeremia 22:13-19 | Ibadah Sektor
    🗓️ Tanggal: 30 Sep 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, sejarah dunia sering menunjukkan, betapa menakutkannya bila manusia hanya mengejar kepentingan diri. Ada masa ketika orang kehilangan hak, bahkan kehilangan nyawa, hanya karena ada pihak yang lebih kuat dan serakah. Dari pengalaman pahit itu kita belajar, bahwa hidup yang hanya berpusat pada diri sendiri tidak pernah membawa damai, tetapi justru menabur penderitaan. Sebaliknya, hidup yang mau berbagi dan peduli akan menyalurkan damai sejahtera, baik bagi diri kita maupun bagi sesama.
Itulah yang ditegaskan Yeremia ketika menegur Raja Yoyakim. Yoyakim sibuk membangun istana megah bagi dirinya, tetapi ia melupakan rakyatnya. Ia menikmati kemewahan, namun rakyat dipaksa bekerja tanpa upah. Ia lebih mementingkan citra diri, tetapi menutup mata terhadap jeritan orang lemah. Hidup seperti ini tampak kokoh di luar, namun rapuh di dalam. Karena di mata Allah, kemuliaan sejati bukan terletak pada apa yang kita kumpulkan, melainkan pada seberapa jauh kita rela berbagi.
Yeremia lalu mengingatkan teladan Raja Yosia, ayah Yoyakim. Yosia bukanlah raja yang hebat karena kemegahannya, melainkan karena kepeduliannya. Ia memperhatikan hak-hak orang miskin, ia membela mereka yang membutuhkan. Dan Alkitab menegaskan, itulah tanda bahwa ia mengenal Allah. Saudara-saudari, mengenal Allah bukan hanya soal berdoa atau mengucapkan pengakuan iman. Mengenal Allah berarti menghadirkan kasih-Nya dalam tindakan sederhana sehari-hari: berbagi, menolong, dan memulihkan.
Dalam semangat itu, marilah kita mendengar suara Santo Basilius dari Kaisarea (± 329–379 M), seorang Bapa Gereja yang terkenal dengan kepeduliannya kepada orang miskin. Ia berkata: “Roti yang engkau simpan adalah milik orang lapar. Pakaian yang engkau simpan di lemari adalah milik orang telanjang. Emas yang engkau kubur adalah milik orang yang membutuhkan.” Kata-kata ini sederhana namun menusuk hati. Ia mengingatkan kita bahwa apa yang kita miliki sejatinya bukan milik kita semata, melainkan titipan Allah yang harus dibagikan.
Yeremia pun mengingatkan bahwa akhir dari hidup yang hanya mementingkan diri sendiri adalah kehinaan. Yoyakim mati tanpa penghormatan, bahkan tidak mendapat pemakaman yang layak. Semua yang ia kumpulkan tidak memberi arti apa pun di hadapan Allah. Sebaliknya, hidup yang mau berbagi selalu meninggalkan jejak kebaikan, bahkan setelah seseorang sudah tiada. Hidup seperti itu akan selalu dikenang, sebab ia menabur sukacita dan menghadirkan kehidupan yang bermakna.
Saya teringat sebuah kisah sederhana. Ada seorang ibu di kampung, hidupnya sangat sederhana. Ia hanya berjualan sayur di pasar dengan penghasilan pas-pasan. Namun setiap kali ada tetangganya yang sakit atau kekurangan, ia selalu datang membawa sesuatu: mungkin sekadar sepiring nasi, sedikit sayur, atau buah yang ia punya. Orang sering bertanya, bagaimana ia bisa memberi, padahal hidupnya sendiri pas-pasan? Ia menjawab dengan tenang: “Kalau saya menunggu sampai berkelimpahan, mungkin saya tidak akan pernah memberi. Tetapi kalau saya memberi dari apa yang saya punya sekarang, itulah yang membuat saya merasa cukup.” Dan benar, walau sederhana, ibu ini dihormati banyak orang, bukan karena kekayaannya, melainkan karena hatinya yang mau berbagi.
Saudara-saudari, mari kita renungkan: berapa banyak waktu dalam hidup ini kita habiskan hanya untuk diri sendiri? Kita bekerja keras, mengumpulkan harta, menjaga nama baik, tetapi sering kali lupa bahwa semua itu tidak akan kita bawa ketika kita mati. Yang akan dikenang bukanlah rumah besar atau jabatan tinggi, melainkan kebaikan yang pernah kita bagikan. Orang akan mengingat senyum yang kita berikan, tangan yang pernah kita ulurkan, telinga yang pernah kita pinjamkan untuk mendengarkan keluh kesah mereka. Itulah warisan sejati: hidup yang mau berbagi.
Berbagi tidak harus menunggu kita kaya. Berbagi bisa dimulai dari hal-hal kecil: memberi waktu untuk menemani orang tua, menyisihkan sedikit makanan untuk tetangga, menghibur teman yang sedang berduka, atau menyapa dengan ramah orang yang sedang kesepian. Terkadang, yang dibutuhkan orang lain bukan uang, melainkan telinga yang mau mendengar, hati yang mau peduli, dan keberanian untuk hadir.
Hidup yang mau berbagi adalah hidup yang berakar pada kasih Allah. Yesus sendiri sudah memberi teladan. Ia datang ke dunia bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Ia rela membagikan hidup-Nya, bahkan sampai mati di kayu salib, supaya kita beroleh hidup. Maka, setiap kali kita berbagi, kita sedang meneladani Kristus. Setiap kali kita berbagi, kita sedang menyalakan terang Allah di tengah dunia yang sering kali gelap.
Karena itu, saudara-saudari, jangan biarkan hidup kita hanya dipenuhi dengan kata “milikku.” Marilah kita belajar mengucapkan kata “milik kita.” Jangan hanya berkata “ini hakku,” tetapi juga belajar berkata “ini bagianku untuk dibagikan.” Dengan begitu, hidup kita akan menjadi jalan bagi orang lain menemukan kasih Allah. Hidup yang mau berbagi bukan hanya membuat orang lain bahagia, tetapi juga memberi damai bagi diri kita sendiri, karena hati yang memberi adalah hati yang dipenuhi sukacita.
Akhirnya, mari kita pakai kesempatan hidup ini, sekecil apa pun, untuk saling berbagi. Dengan berbagi, kita sedang membangun rumah yang kokoh, bukan rumah batu seperti Yoyakim, tetapi rumah kasih yang tidak akan runtuh. Hidup yang mau berbagi adalah hidup yang menghadirkan shalom Allah di dunia ini.    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah