Dalam Sunyi, Kita Dipanggil Duduk
    Nas: Lukas 10:38-42 | Ibadah Minggu
    🗓️ Tanggal: 20 Jul 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Ada momen yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Bukan karena tidak ada yang bisa dikatakan, tetapi karena peristiwa itu sendiri mengundang kita untuk diam, hening, dan menyimak. Seperti saat Yesus tiba di rumah Marta dan Maria—sebuah rumah sederhana, mungkin seperti banyak rumah lainnya di desa kecil Betania. Tidak megah. Tidak harum dupa atau kain ungu seperti di bait suci. Tapi ada sesuatu yang ilahi menapakkan kaki-Nya di ambang pintu rumah itu. Sebuah kehadiran yang tidak hanya membawa kabar baik, tetapi adalah Kabar Baik itu sendiri.
Maria duduk. Begitu saja. Tanpa kata. Tanpa prolog. Ia hanya duduk. Dan dari duduk itu, sesuatu terjadi. Sesuatu yang tidak dicatat dengan jelas dalam Injil—apa yang dikatakan Yesus, berapa lama Ia berbicara, seperti apa nada suaranya. Tapi kita tahu satu hal: Maria mendengarkan, dan di hadapan Yesus, mendengarkan adalah ibadah.
Sementara itu, Marta berputar di dapur. Mungkin memasak sesuatu yang lezat, mungkin memastikan gelas sudah terisi, mungkin mencoba mengatur segalanya agar sang Guru merasa dihormati. Marta tidak jahat. Tidak juga bodoh. Ia bahkan tampak paling bertanggung jawab. Tapi dalam cinta yang sibuk, kita bisa kehilangan inti. Dan inti itu adalah kehadiran Yesus yang ingin disambut bukan dengan upacara, tetapi dengan hati yang duduk diam.
Yesus menyapa Marta dengan panggilan yang lembut namun menggugah: “Marta, Marta…” Panggilan ganda ini bukan teguran marah, tapi sapaan penuh kasih. Panggilan ganda dalam tradisi Alkitab adalah panggilan relasi. Seperti “Samuel, Samuel.” Seperti “Saul, Saul.” Seperti seorang ibu yang memanggil anaknya yang terlalu sibuk bermain, agar berhenti sejenak dan pulang ke rumah. Marta dipanggil bukan untuk dikritik, tetapi untuk diajak kembali—kepada satu hal yang perlu. Duduk. Mendengarkan.
Di ulang tahun ke-60 GKPI Air Bersih, suara Yesus yang sama kembali menggema. Enam puluh tahun bukan waktu yang pendek. Ada sejarah panjang di belakang kita. Ada cerita jemaat yang dibentuk dari kebaktian kecil di rumah-rumah, dari kebersamaan yang bertumbuh di tengah keterbatasan. Kita mengingat para pelayan yang pertama, para penatua dan pendeta yang memikul beban gereja saat gereja masih seperti biji sesawi. Kita mengingat gereja ini lahir bukan dari kekuatan besar, tetapi dari kerinduan kecil yang ditiup Roh Kudus menjadi nyala yang tidak padam.
Dan sejak saat itu, kita bergerak. Kita berkarya. Kita mendirikan bangunan, menyelenggarakan ibadah, menjawab kebutuhan umat, menjangkau yang tersisih, menyusun program dan struktur, mengatur dana dan pelayanan, mendidik anak-anak dan memberdayakan lansia. Kita adalah Marta yang aktif. Dan itu tidak salah. Tapi hari ini, kita mendengar Yesus berkata: “Marta, Marta…” Maukah kita berhenti sejenak? Duduk sejenak? Bukan untuk berhenti melayani, tetapi untuk kembali mengingat siapa yang menjadi pusat pelayanan itu.
Sebab gereja bisa saja menjadi sangat sibuk, namun perlahan kehilangan keintiman dengan Sang Kepala Gereja. Gereja bisa menjadi hebat dalam program, tapi hampa dalam penghayatan. Gereja bisa teratur dalam struktur, tapi rapuh dalam relasi. Dan semua itu tidak bisa dipulihkan dengan kesibukan baru—melainkan dengan duduk kembali di kaki Yesus, dan membiarkan suara-Nya masuk ke kedalaman yang selama ini hanya diisi oleh kebisingan.
Mungkin selama ini kita terlalu banyak berbicara, dan terlalu sedikit mendengar. Terlalu banyak berencana, terlalu sedikit bertanya: “Tuhan, apa yang Kau kehendaki?” Maka perayaan ulang tahun ini bukan hanya tentang melihat ke belakang, atau menatap ke depan, tetapi juga tentang diam dalam hadirat-Nya di saat ini. Seperti Maria. Yang tahu bahwa sebelum kita bisa membagikan kabar baik, kita harus terlebih dahulu diam dalam Kabar Baik itu.
Duduk adalah sikap yang rendah. Tapi dari sikap rendah itulah kita ditinggikan. Duduk adalah isyarat bahwa kita tidak terburu-buru. Dan dalam dunia yang makin tergesa, Tuhan memanggil gereja-Nya untuk menjadi ruang sunyi, tempat orang dapat mendengar kembali suara yang menyelamatkan. Suara yang berkata: “Engkau berharga. Aku mengenalmu. Aku tidak menuntutmu menjadi sempurna. Duduklah di kaki-Ku. Dengarlah suara-Ku. Aku masih mau berbicara padamu.”
Jemaat yang dikasihi Tuhan, ulang tahun gereja bukan soal usia. Tapi tentang panggilan untuk berakar lebih dalam. Setelah enam dekade, mari jangan hanya menara yang kita tinggikan. Tapi kedalaman yang kita gali. Kedalaman relasi. Kedalaman penghayatan. Kedalaman doa. Kedalaman pelayanan yang tidak hanya sibuk tetapi juga berakar pada kasih Kristus.
Sebab Marta dibutuhkan, tetapi Maria diperlukan. Pelayanan harus tetap berjalan, tetapi arahnya harus tetap bersumber dari Sang Sabda. Dari sabda itulah gereja menemukan makna hidupnya. Dari sabda itulah kita tahu kapan harus bertindak, dan kapan harus diam.
Yesus berkata: “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.”
Kiranya bagian terbaik itu juga kita pilih di tahun keenam puluh ini: duduk di kaki-Nya. Di sanalah kekuatan kita dipulihkan. Di sanalah hati kita dikuatkan. Dan dari sanalah gereja kita akan melangkah lagi—bukan hanya karena program, tetapi karena sabda yang menghidupkan. Amin.
    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah