Tahta Tanpa Hati: Ketika Kekuasaan Menindas
    Nas: Yeremia 22:13-19 | Ibadah Kategorial
    🗓️ Tanggal: 26 Sep 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      PENDAHULUAN
Tahun 2001 yang lalu, saya menyelesaikan skripsi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Sekarang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta), dengan judul: Pengampunan dan Rekonsiliasi. Skripsi itu membahas kemungkinan terjadikan rekonsiliasi bangsa Indonesia setelah kekuasaan Orde Baru berakhir. Mengapa harus terjadi rekonsiliasi? Berdasarkan penelitian yang saya lakukan di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Hamparan Perak (Kab. Deli Serdang), Magelang (Jawa Tengah), Cilangkap (Jakarta Timur), dan lain-lain, saya menemukan, banyak manusia yang korban nyawa sia-sia. Seseorang sangat mudah kehilangan nyawa hanya karena tuduhan tidak berdasar, dia seorang pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia). Bukan hanya itu saja, banyak orang yang hilang, berawal dari penangkapan yang dilakukan alat negara saat itu, tidak pernah melalui proses hukum. Pada akhirnya, saya menyimpulkan, betapa menakutkannya wajah kekuasaan jika tidak disertai dengan sikap hormat pada kemanusiaan.
Dalam Etika politik, kekuasaan dijalankan berlandaskan prinsip moral, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Politik tidak hanya soal perebutan dan pengelolaan kekuasaan, melainkan soal arah penggunaan kekuasaan tersebut: apakah dipakai untuk melayani kepentingan umum atau sekadar memperkaya diri dan kelompok tertentu? Dalam tradisi Alkitab, Etika Politik selalu terkait erat dengan tanggung jawab pemimpin untuk membela kaum lemah, menjaga keadilan, menghormati martabat manusia, dan merawat ciptaan. Kekuasaan yang tidak diikat oleh etika pada akhirnya berubah menjadi tirani, sementara kekuasaan yang berakar pada etika menjadi sarana menghadirkan shalom Allah bagi masyarakat.
Itulah yang ditunjukkan dalam nas ini melalui kritik nabi Yeremia kepada Raja Yoyakim. Teks ini memperlihatkan bahwa kekuasaan sejatinya dipanggil untuk menghadirkan keadilan dan perlindungan bagi yang lemah, agar kehidupan bersama dibangun di atas kasih dan kebenaran. Namun Yoyakim justru menjadikan istananya simbol kebesaran diri, membangun kekuasaan di atas penderitaan rakyat. Yeremia lalu menegur keras model kekuasaan yang kehilangan moral, karena di hadapan Allah legitimasi kepemimpinan tidak pernah diukur dari kemegahan lahiriah, melainkan dari keberpihakan kepada mereka yang rentan. Dengan demikian, dimensi kekuasaan dalam teks ini menegaskan bahwa setiap bentuk kepemimpinan baru menemukan maknanya bila dijalankan untuk menciptakan relasi yang adil, saling memulihkan, dan saling menguatkan, sehingga seluruh komunitas mengalami shalom Allah.
ISTANA MEGAH, FONDASI RAPUH: KRITIK YEREMIA TERHADAP YOYAKIM
Ayat 13–17 berisi pidato tuduhan terhadap Raja Yoyakim, penerus raja yang sebelumnya (dalam sejarah disebut anak Yosia). Ia diangkat menjadi raja oleh Firaun Nekho, yang bahkan mengganti namanya dari Elyakim menjadi Yoyakim (2Raj. 23:34,36–37; 24:1–6; 2Taw. 36:4–8). Yoyakim dikenal sebagai lawan paling keras dari nabi Yeremia: seorang penguasa yang kejam, sewenang-wenang, dan penuh tirani.
Walau namanya baru disebut di ayat 18, jelas sejak ayat 13 nubuatan kecelakaan itu ditujukan kepadanya. Yoyakim membangun “rumah” atau istananya dengan cara yang tidak adil. Ia memaksa rakyatnya sendiri untuk bekerja membangun istana sebagai monumen kesombongan pribadi, tetapi tidak memberi mereka upah. Dengan demikian, ia menyalahgunakan hak istimewa sebagai raja demi keuntungan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat.
Hal ini merupakan pelanggaran serius, sebab tugas seorang raja justru adalah melindungi hak-hak rakyat dan mencegah penindasan. Namun Yoyakim malah mengulangi kebijakan kerja paksa yang pernah dipakai pada zaman Salomo (1Raj. 5:13–14; 12:3–4). Ia berkata dalam hatinya: “Aku akan membangun sebuah istana megah bagi diriku sendiri.” Maka ia merancang bangunan dengan ruang-ruang atas yang lebih sejuk, jendela besar, dinding berlapis kayu aras, dan dihiasi dengan cat merah—warna khas kebesaran raja. Dengan cara itu, Yoyakim ingin menegakkan citra kemegahan dirinya, padahal semuanya dibangun di atas ketidakadilan.
Pada akhirnya, kritik Yeremia terhadap Yoyakim bukan sekadar penolakan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, melainkan panggilan untuk menata kembali relasi sosial yang berlandaskan pada keadilan. Relasi yang adil adalah relasi yang memulihkan—rakyat tidak lagi diperas demi kepentingan penguasa, tetapi dihargai martabatnya sebagai sesama ciptaan Allah. Relasi seperti itu bukan hanya menguatkan struktur sosial, tetapi juga menghadirkan tanda nyata dari pemerintahan Allah yang penuh kasih. Relasi yang adil ini bukan hanya tanggung jawab pemimpin, tetapi juga panggilan bagi setiap individu untuk mewujudkannya dalam lingkup kehidupan sehari-hari: di keluarga, komunitas, dan lingkungan tempat mereka hidup. Dengan begitu, keadilan tidak berhenti sebagai wacana besar dalam ranah kekuasaan, melainkan menjelma nyata dalam perjumpaan sehari-hari. Maka, teks ini membuka jalan untuk melihat teladan kontras dari Raja Yosia, ayah raja Yoyakim, yang justru menghidupi kekuasaan dengan keberpihakan pada yang miskin dan lemah.
YOSIA ATAU YOYAKIM?: UKURAN RAJA SEJATI DI MATA ALLAH
Tuhan membandingkan Yoyakim dengan ayahnya, Raja Yosia, yang hidup dengan baik karena melakukan apa yang benar dan adil. Yosia memperhatikan hak-hak orang miskin dan membela mereka yang membutuhkan. Dengan demikian, ia menjalankan hukum Tuhan. Itulah kualitas yang membuat Yosia dihargai sebagai raja di mata Allah.
Lebih dari itu, tindakan keadilan dan keberpihakan kepada orang kecil adalah bukti nyata bahwa seseorang mengenal Allah. Pernyataan di ayat 16 ini sangat penting, sebab di Perjanjian Lama “mengenal Allah” tidak hanya berarti memiliki pengetahuan atau iman dalam hati, melainkan juga mewujudkannya dalam tindakan nyata. Pengetahuan tentang Allah harus tercermin dalam kasih, keadilan, dan perbuatan (lih. Ul. 6:5; Kej. 22; Yak. 1:22–2:13).
Maka, jelaslah bahwa mengenal Allah bukan sekadar soal pengetahuan atau pengakuan iman, melainkan nyata dalam tindakan kasih, keadilan, dan pembelaan terhadap mereka yang rentan. Relasi dengan Allah tidak bisa dipisahkan dari relasi dengan sesama: ketika seseorang berlaku adil, peduli, dan mengasihi, di situlah ia memperlihatkan bahwa hidupnya sungguh berakar pada Allah. Namun sebaliknya, bila kekuasaan, harta, atau ambisi lebih menguasai, maka sesungguhnya ia sedang menjauh dari Allah. Dimensi inilah yang menjadi titik balik tajam dalam nas ini: ketika Yosia menjadi teladan raja yang mengenal Allah melalui keadilan, Yoyakim justru menunjukkan wajah yang berlawanan.
TAHTA YANG HILANG, MAKAM YANG HINA: AKHIR TRAGIS SANG RAJA TANPA KEADILAN
Ayat 17 menegaskan tuduhan terhadap Raja Yoyakim: ia tidak mengenal Tuhan. Alih-alih menjadi penerus yang layak dari ayahnya, Yosia, ia justru menyerupai buyutnya, Manasye, yang juga terkenal karena menumpahkan darah orang tak bersalah (2Raj. 21:16; bdk. 24:4).
Ayat 18–19 lalu menyatakan hukuman Allah bagi Yoyakim. Tidak seperti Yosia yang diratapi seluruh rakyat, Yoyakim akan mati tanpa tangisan atau penghormatan. Ia bahkan tidak akan mendapat pemakaman yang layak—padahal dalam tradisi Israel, tidak dimakamkan adalah tanda kutuk (Ul. 28:26). Mayatnya akan diseret dan dilempar keluar gerbang kota, diperlakukan seperti bangkai keledai, hewan najis yang hina (Im. 11:1–8; Ul. 14:3–8).
Memang ada catatan dalam 2Raj. 24:6 yang mengatakan Yoyakim “beristirahat bersama nenek moyangnya,” seolah-olah ia mendapat pemakaman biasa. Namun ada kemungkinan bahwa setelah wafat, makamnya dibongkar oleh orang Babel, dan jenazahnya dipermalukan serta dibiarkan begitu saja—sebuah bentuk penghinaan tertinggi bagi musuh yang kalah (lih. Yeh. 6:5; Mzm. 53:5; 141:7; bdk. Yer. 36:30). Dengan demikian, nubuat Yeremia menegaskan: raja yang menolak keadilan dan menindas rakyat akan berakhir bukan dengan kemuliaan, melainkan dengan kehinaan total.
Refleksi dari nas ini mengingatkan kita bahwa hubungan dengan Allah selalu terkait dengan perilaku nyata terhadap sesama. Kekuasaan atau kedudukan yang disalahgunakan untuk menindas dan mengeksploitasi orang lain akan membawa kehancuran, bukan kemuliaan. Yoyakim menunjukkan bahwa pengakuan sebagai raja tidak cukup jika tidak diiringi dengan keadilan dan belas kasih; sebaliknya, tindakan yang melawan prinsip Allah menimbulkan kehinaan dan penolakan bahkan dalam kematian. Bagi kita, ini menjadi pengingat bahwa hidup yang mengenal Tuhan selalu tercermin dalam perbuatan nyata, sikap adil, dan keberpihakan pada mereka yang lemah, sehingga relasi dengan Allah dan sesama bisa saling menguatkan dan memulihkan.
KESIMPULAN
Kepemimpinan dan kehidupan yang benar-benar mengenal Allah selalu diwujudkan dalam keadilan, belas kasih, dan keberpihakan kepada yang lemah. Kekuasaan atau kedudukan yang digunakan untuk menindas atau memperkaya diri sendiri akan berakhir dengan kehancuran dan kehinaan, sementara tindakan yang adil dan penuh kasih membangun relasi yang memulihkan, menguatkan komunitas, dan mencerminkan pemerintahan Allah di dunia. Setiap individu, baik pemimpin maupun warga biasa, dipanggil untuk menegakkan keadilan dan belas kasih dalam lingkup kehidupan sehari-hari, sehingga relasi dengan Allah dan sesama berjalan selaras. Intinya, teks ini menekankan integritas moral sebagai dasar legitimasi kekuasaan dan kehidupan iman yang nyata, bukan sekadar simbol atau klaim status.
    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah