Ketika Kekayaan Membisu dan Nama Hilang: Belas Kasih yang Menyelamatkan
    Nas: Lukas 16:19-31 | Ibadah Minggu
    🗓️ Tanggal: 28 Sep 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      PENGANTAR
Kemiskinan masih menjadi wajah nyata dunia hingga hari ini. Menurut laporan PBB (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI), sekitar 1,1 miliar orang hidup dalam kemiskinan multidimensi akut, dan lebih dari separuh di antaranya adalah anak-anak. Mereka bukan hanya kekurangan penghasilan, tetapi juga akses kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup yang layak. Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,47% atau sekitar 23,85 juta jiwa. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan rata-rata hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar di bawah Rp 2,9 juta per rumah tangga per bulan. Angka ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukan sekadar persoalan statistik, melainkan realitas yang menyentuh kehidupan banyak orang setiap hari, terutama di pedesaan yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi dibanding perkotaan.
Di tengah kenyataan itu, kisah Mother Teresa dari Calcutta menjadi simbol belas kasih yang melampaui batas. Lahir pada 1910 dan kemudian meninggalkan kenyamanan biara, ia memilih hidup bersama orang-orang yang paling miskin, sakit, dan ditolak masyarakat. Melalui ordo Missionaries of Charity yang ia dirikan pada tahun 1950, Mother Teresa melayani mereka yang dianggap hina, menyentuh luka mereka, memberi makanan, dan lebih dari itu—mengembalikan martabat manusia yang dilupakan. Kehidupannya menegaskan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang ketiadaan materi, melainkan juga tentang ketiadaan pengakuan, dan belas kasih adalah jalan untuk mengembalikan manusia pada nilai sejatinya.
Injil Lukas ini memberi perhatian terhadap orang Miskin dan orang berdosa. Walau demikian, injil Lukas tidak berarti menyingkirkan orang kaya. Kisah Zakeus (19:1-10) dan Yusuf dari Arimatea (23:50-53) mewakili orang kaya yang mendapat tempat positif dalam injil Lukas. Terlihat jelas, injil Lukas tidak menolak kekayaan tetapi mendorong kekayaan mempunyai tanggungjawab sosial. Oleh karena itu, injil Lukas sering menekankan tuntutan radikal agar setiap orang menggunakan harta mereka untuk kepentingan orang miskin (14:13; 18:22). Kekayaan mendorong orang untuk peduli, bukan sebaliknya, menutup diri.
Nas ini berada dalam satu rangkaian pengajaran tentang uang, misalnya tentang pengajaran antara Allah dan Mammon (16:10-13). Dalam nas ini mengisahkan perumpamaan tentang orang kaya, yang tidak disebut namanya, dan orang miskin, bernama Lazarus. Kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan sosial yang tajam. Orang kaya digambarkan berlebihan. Sementara itu, Lazarus dilihat sebagai sosok misikn dan tidak berharga.
ANTARA YANG BERNAMA (RECOGNIZED) DAN TIDAK BERNAMA (ANONYMOUS)
Injil Lukas memiliki keunikan ketika menjelaskan perumpaan ini. Walau ada perbedaan yang kontras antara orang kaya dan miskin dalam nas ini, satu hal yang penting: hanya nama orang miskin yang disebut oleh nas ini, yaitu Lazarus, sesuatu yang jarang diberikan bagi orang miskin dalam cerita waktu itu. Sementara nama orang kaya tidak disebut oleh nas ini. Perbedaan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dilibatkan untuk memperoleh kedalaman nas ini, sebab nama menjadi tanda penting dalam nas ini.
Secara filosofis, nama adalah simbol pengakuan terhadap eksistensi. Yang bernama adalah yang dilihat, diingat, dan diakui; sedangkan yang anonim kehilangan kehadiran sejatinya, meski mungkin berkuasa di dunia. Dalam filsafat eksistensial, nama buka sekedar sebutan, melainkan tanda bahwa keberadaan seseorang diakui dalam jejaring makna dan relasi. Anonimitas orang kaya menandakan bahwa sekalipun ia berkuasa, berimpah, dan tampak penting di mata masyarakat, ia kehilangan keberadaan sejati karena keberadaannya tidak berjejaring dengan Yesus. Dengan demikian, ketika Yesus tidak menyebut nama orang kaya, maka implikasinya adalah ketiadaan jejaring makna dan relasi dengan-Nya.
Lain halnya dengan Lazarus yang dengan tegas disebut dalam nas ini meskipun dipersonifikasi sebagai orang miskin. Penyebutan namanya bukan sekadar detail naratif, melainkan simbol pengakuan Allah terhadap eksistensinya. Dalam keterbuangan, sakit, dan ketidakberdayaan, Lazarus tetap berada dalam jejaring relasi dengan Allah, dan itulah yang menjadikannya diingat. Nama “Lazarus” yang berarti Allah telah menolong menegaskan, keberadaan sejatinya tidak terletak pada kemiskinan atau penderitaannya, melainkan pada pengakuan ilahi yang mengangkatnya dari anonimitas sosial menuju keberadaan yang bernilai kekal.
Dalam rangka itu, penyebutan nama Lazarus dapat dibingkai dalam perspektif teologis, Allah berpihak pada yang tertindas dan tidak membiarkan mereka hilang dalam anonimitas sejarah. Dalam tradisi biblis, Allah adalah Allah yang mengenal umat-Nya “dengan nama” (Yesaya 43:1), sebuah tanda relasi yang intim dan penuh kasih. Dengan demikian, Lazarus menjadi lambang setiap orang yang tersisih dari pusat kuasa, namun tetap hidup dalam ingatan Allah. Nama itu menandai bahwa eksistensi sejati bukanlah yang diagungkan oleh masyarakat, melainkan yang berakar dalam relasi dengan Allah.
Secara teologis, ketidakbernamaan orang kaya menunjukkan kehampaan kekuasaan dan kekayaan di hadapan Allah. Kekayaan yang tidak dipakai untuk membangun jejaring kasih dengan sesama tidak menciptakan identitas kekal, melainkan lenyap tanpa jejak. Sebaliknya, kemiskinan Lazarus justru menjadi ruang di mana kuasa Allah hadir, sehingga namanya diingat sebagai saksi bahwa Allah menegakkan keadilan dan penghiburan bagi yang hina.
Dengan demikian, penyebutan nama Lazarus adalah pernyataan iman bahwa Allah adalah subjek yang mengingat, mengakui, dan memulihkan yang terbuang. Teologi nama dalam perumpamaan ini menunjukkan bahwa hidup manusia menemukan makna terdalamnya hanya ketika keberadaannya terjalin dalam relasi dengan Allah yang mengenal setiap ciptaan-Nya secara pribadi.
TIGA SIMBOL ANTARA YANG BERNAMA DAN TIDAK BERNAMA
Ada tiga simbol yang digunakan oleh injil Lukas untuk menggambarkan perbedaan kedua tokoh tersebut. Pertama, pakaian. Orang kaya disebut menggunakan pakaian wol putih dan jubah ungu, yang keduanya menjadi simbol kemewahan dan kekuasaan pada zaman itu. Sebaliknya, Lazarus, meskipun injil Lukas tidak menyebut jenis pakaiannya, tetapi nas ini berhasil menggambarkan hidup Lazarus yang prihatin. Tubuhnya penuh dengan borok, tanda kenazisan dan dianggap telah menerima hukuman Tuhan. 
Kedua, makanan. Orang kaya disebut memiliki makanan yang berlimpah karena dia sering melakukan pesta. Lazarus hanya mengandalkan sisa makanan yang jatuh dari meja. Ironisnya, manusia tidak menolongnya, melainkan anjing-anjing liar yang mempermalukan Lazarus dengan mengambil makanannya.
Ketiga, soal tempat tinggal. Orang kaya punya rumah besar dengan gerbang, tanda status. Lazarus tergeletak di depan gerbang itu, kemungkinan lumpuh dan tanpa daya. Dalam kisah, orang kaya selalu aktif berbicara, sedangkan Lazarus hanya diam, pasif, dan menjadi objek percakapan.
Teologi Lukas di sini menegaskan, yang menentukan bukanlah apa yang dikenakan, dimakan, atau dimiliki, melainkan siapa yang mengenal dan memanggil kita dengan nama. Allah mengingat Lazarus karena hidupnya, meski miskin, tetap berada dalam pengakuan dan pertolongan Allah. Orang kaya yang tampak berjaya, justru hilang dari memori kekal karena hidupnya tanpa relasi dengan Allah maupun dengan sesama. Dengan demikian, perumpamaan ini memperlihatkan teologi pembalikan: kemewahan duniawi yang tidak berjejaring dalam kasih akan lenyap, sedangkan kemiskinan yang dipeluk Allah akan dikenang selamanya.
HIDUP YANG BERBELAS KASIH
Perumpamaan ini menegaskan bahwa hidup yang berbelas kasih bukan sekadar tindakan spontan, melainkan sikap batin yang lahir dari kepekaan terhadap firman Allah dan penderitaan sesama. Orang kaya dalam kisah ini tampak hormat kepada Abraham, bahkan sempat memikirkan nasib saudara-saudaranya, tetapi inti permasalahannya ialah ia tidak pernah belajar berbelas kasih kepada Lazarus ketika masih hidup. Bahkan setelah mati, ia tetap menempatkan Lazarus sebagai sosok yang bisa disuruh, tanda bahwa hatinya tidak berubah.
Abraham mengingatkan bahwa perbedaan antara dirinya dan Lazarus bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi dari hidup yang dijalani. Orang kaya telah memilih menikmati kelimpahan tanpa peduli pada penderitaan di sekitarnya, sedangkan Lazarus yang tidak bersalah justru menderita. Inilah gambaran keadilan Allah yang membalikkan keadaan: yang menutup hati pada belas kasih akan kehilangan penghiburan, sedangkan yang miskin dan tertindas akan dipulihkan.
Pesan pentingnya adalah bahwa belas kasih tidak bisa ditunda sampai kelak, apalagi digantikan oleh tanda-tanda ajaib. Abraham menegaskan bahwa firman Tuhan sudah cukup sebagai dasar hidup. Jika seseorang tidak belajar peka terhadap suara firman dan jeritan sesamanya, maka bahkan kebangkitan orang mati tidak akan mengubah hati yang keras. Karena itu, hidup yang berbelas kasih adalah panggilan yang harus diwujudkan di tengah dunia ini, saat kita masih diberi kesempatan untuk melihat, mendengar, dan bertindak.
Hidup yang berbelas kasih itu juga yang muncul dalam pandangan Basilius dari Kaisarea (±329–379 M), salah seorang Bapa Gereja yang dikenal dengan kepeduliannya terhadap kaum miskin. Ia menegaskan, harta bukanlah milik pribadi semata, melainkan titipan Allah yang harus digunakan untuk menolong sesama. Dalam salah satu khotbahnya, Basilius menegur orang kaya dengan berkata, “pakaian yang kau simpan di lemari adalah milik orang telanjang, dan roti yang kau sembunyikan adalah milik orang lapar.” Pandangan ini memperkuat pesan perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus, bahwa kegagalan menunjukkan belas kasih bukanlah sekadar kelemahan moral, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap firman Allah dan panggilan iman. Dengan demikian, hidup berbelas kasih berarti menyalurkan anugerah Allah yang diterima sehingga apa yang ada pada kita adalah sarana berkat bagi sesama. Itulah hidup yang berbelas kasih.
KESIMPULAN
Perumpamaan orang kaya dan Lazarus mengingatkan kita bahwa hidup beriman tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi dari seberapa dalam hati kita terhubung dengan Allah dan sesama. Orang kaya kehilangan namanya karena kekayaannya tidak pernah menjadi jembatan kasih, melainkan tembok pemisah. Sebaliknya, Lazarus, yang miskin dan tertolak, justru diingat Allah karena hidupnya berada dalam jejaring kasih dan pengakuan ilahi. Di sini kita belajar bahwa nilai hidup bukan ditentukan oleh status sosial atau materi, melainkan oleh relasi kasih yang kita bangun dalam terang firman Tuhan.
Bagi jemaat masa kini, pesan ini menantang kita untuk tidak membiarkan mata dan hati tertutup terhadap penderitaan orang lain. Belas kasih bukan sekadar tindakan sesaat, tetapi gaya hidup yang lahir dari firman dan Roh Kudus. Seperti Basilius dari Kaisarea mengingatkan, apa yang kita simpan sebenarnya adalah milik mereka yang kekurangan. Maka, hidup berbelas kasih berarti menghadirkan Allah bagi dunia: memberi nama, pengakuan, dan martabat kepada mereka yang dilupakan. Dengan cara itu, kita mewujudkan iman yang nyata—iman yang diingat oleh Allah dan menjadi kesaksian kasih Kristus di tengah dunia.
    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah