Beritakan Injil, Selamatkan Ciptaan!
    Nas: Markus 16:15 | Ibadah Kategorial
    🗓️ Tanggal: 25 Sep 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Dewasa ini, kita semua sedang menghadapi kenyataan yang serius tentang kondisi bumi. Pemanasan global bukan lagi sekadar wacana, melainkan sesuatu yang nyata kita alami setiap hari. Cuaca menjadi semakin tidak menentu, suhu bumi semakin panas, es di kutub mencair, dan berbagai bencana alam semakin sering terjadi. Badan Meteorologi Dunia bahkan menyebutkan bahwa beberapa tahun terakhir adalah tahun-tahun terpanas yang pernah dicatat dalam sejarah manusia. Semua ini memberi dampak yang luas: ada banjir di berbagai tempat, ada kekeringan yang panjang, kebakaran hutan meluas, dan banyak hewan serta tumbuhan kehilangan tempat hidupnya. Kualitas hidup manusia pun ikut menurun. Kita melihat gunungan sampah plastik yang tidak bisa terurai dengan cepat, menumpuk di laut dan mengancam kehidupan ikan, burung, dan makhluk lainnya. Hutan-hutan ditebang tanpa kendali, membuat tanah menjadi gersang dan keseimbangan alam terganggu. Semua ini bukan hanya soal lingkungan hidup, tetapi juga soal iman, karena Allah telah mempercayakan bumi ini kepada kita untuk dijaga, bukan untuk dirusak.
Di tengah situasi yang mengkhawatirkan ini, kita kembali diingatkan pada perkataan Yesus dalam Markus 16:15: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” Kata-kata Yesus ini sangat penting. Dalam bahasa aslinya, ada dua istilah yang menolong kita memahami lebih dalam. Yang pertama adalah panta ton kosmon, artinya “seluruh dunia.” Yang kedua adalah pase te ktisei, artinya “segala makhluk” atau bisa juga dimengerti sebagai “seluruh ciptaan.” Jadi, ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya, Injil yang diberitakan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh ciptaan Allah. Dalam bahasa Yunani, kata ktisis bukan hanya menunjuk pada manusia, tetapi meliputi segala yang ada: hewan, tumbuhan, tanah, laut, udara, bahkan seluruh kosmos. Dengan demikian, kabar baik dari Yesus Kristus adalah kabar sukacita yang menjanjikan pemulihan bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi seluruh alam semesta yang kini terluka oleh dosa.
Perintah Yesus ini diberikan setelah kebangkitan-Nya, yaitu saat yang menandai kemenangan Allah atas dosa dan maut. Kebangkitan Kristus bukan hanya tanda kehidupan baru bagi manusia, tetapi juga jalan bagi pembaruan seluruh ciptaan. Rasul Paulus pernah menuliskan hal ini dalam Roma 8:19-22, bahwa seluruh ciptaan sedang menanti dengan penuh kerinduan akan saatnya dibebaskan dari kerusakan. Dengan kata lain, ketika kita berbicara tentang Injil, kita tidak hanya bicara soal ibadah, doa, atau perilaku pribadi, tetapi juga soal bagaimana kita ikut menjaga kelestarian bumi. Injil adalah kabar baik yang harus terasa nyata, juga bagi tanah yang kita pijak, udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan hewan serta tumbuhan yang hidup berdampingan dengan kita.
Kalau kita melihat dari sisi kehidupan masyarakat pada zaman Yesus, perkataan ini semakin jelas maknanya. Orang-orang Yahudi pada masa itu hidup dekat sekali dengan alam. Mereka menggembalakan ternak, mengolah tanah, dan sangat bergantung pada musim untuk hasil panen. Alam bukan hanya latar belakang, tetapi bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Karena itu, ketika Yesus berkata untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk, hal itu juga berarti mengajak umat-Nya untuk hidup selaras dengan lingkungan. Injil yang tidak menghargai bumi dan seisinya akan kehilangan kekuatannya, sebab bagaimana mungkin kita menyampaikan kasih Allah sementara kita membiarkan ciptaan-Nya hancur di depan mata kita?Dari sudut pandang sosiologis, perkataan Yesus kepada murid-muridnya juga mencerminkan kedekatan masyarakat agraris Yahudi dengan alam. Mereka menggembalakan ternak, menggarap tanah, dan bergantung pada musim hujan untuk hasil panen. Alam bagi mereka bukan sekadar latar belakang, melainkan sumber kehidupan yang tidak terpisahkan dari relasi dengan Allah. Karena itu, perintah untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk juga berarti menghidupi pola relasi yang harmonis dengan lingkungan. Pewartaan Injil yang mengabaikan kelestarian bumi akan kehilangan maknanya, sebab bagaimana mungkin kita berbicara tentang kasih Allah sementara kita membiarkan bumi yang diciptakan-Nya rusak dan hancur?
Ayat ini membawa kita pada pemahaman bahwa pemberitaan Injil adalah partisipasi dalam karya Allah yang menciptakan dan menebus dunia. Para Bapa Gereja juga menaruh perhatian terhadap keutuhan ciptaan. Basilius Agung yang hidup pada abad ke-4, misalnya, dalam Hexaemeron menekankan, setiap ciptaan Allah, sekecil apapun, memiliki tujuan dan nilainya sendiri di hadapan Sang Pencipta. Ketika manusia merusak ciptaan, ia tidak hanya melukai alam, tetapi juga merusak harmoni kosmik yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, menjaga bumi berarti menghidupi Injil. Bagi perempuan, yang dalam banyak budaya dan kehidupan sehari-hari dekat dengan tugas mengatur rumah tangga, memasak, dan mendidik anak, panggilan ini menjadi sangat nyata. Melalui tindakan sederhana yang konsisten, perempuan dapat menjadi saksi Injil yang hidup bagi seluruh ciptaan.
Rencana aksi yang dapat dilakukan perempuan dalam konteks ini dimulai dari hal-hal sederhana. Di rumah, perempuan dapat mendidik anak-anak untuk membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah organik dan non-organik, serta mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan membawa tas belanja kain atau botol minum isi ulang. Menanam pohon atau tanaman obat keluarga di halaman rumah dapat menjadi bentuk nyata merawat bumi sekaligus menjaga kesehatan keluarga. Di gereja, perempuan dapat menginisiasi gerakan hijau, seperti mengurangi sampah plastik saat ibadah, mengadakan pelatihan pengelolaan sampah, atau menanam pohon bersama di lingkungan sekitar gereja. Dengan demikian, pewartaan Injil tidak hanya terjadi lewat kata-kata, melainkan juga melalui tindakan nyata yang membawa kehidupan bagi manusia dan seluruh makhluk ciptaan Allah.
    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah