Logo GKPI

Integritas Cordis

Nas: Matius 6:25-34 | Ibadah Sektor
🗓️ Tanggal: 23 Sep 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Hidup manusia tidak pernah bebas dari bayangan kekuatiran. Kita sering memikirkan apa yang akan kita makan esok hari, bagaimana masa depan keluarga kita, atau apakah pekerjaan kita akan tetap ada besok. Di dalam keheningan hati, kita mungkin menyimpan pertanyaan yang sama: apakah aku akan cukup? apakah hidupku aman? Kuatir muncul justru ketika kita mencoba mengantisipasi masa depan, karena di sana tersimpan ketidakpastian yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Bahkan, tidak jarang kekuatiran menjadi cara bagi kita untuk mengantisipasi masa depan. Injil Matius 6:25–34 hari ini hadir di tengah-tengah kita agar hidup dapat melampaui kekuatiran, terutama saat mengantisipasi masa depan. Injil ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan sebagai undangan Allah untuk mengubah arah pandang kita: dari kekuatiran yang sering menawan masa depan, kepada pengharapan yang menuntun keutuhan hati. Yesus menggunakan kata “janganlah kamu kuatir” yang dalam bahasa Yunani ditulis dengan kata merimnaō. Kata ini berasal dari akar kata "merizō" yang berarti “terpecah-pecah” atau “terbelah.” Kekuatiran membuat hati manusia seperti sebuah bejana yang retak: ia tidak mampu menampung damai sejahtera Allah, karena energi batin terkuras antara cemas akan masa depan dan rasa ketidakpastian terhadap masa kini. Hati yang terpecah adalah hati yang kehilangan arah, ibarat kompas yang jarumnya tidak lagi menunjuk ke utara. Inilah bahaya spiritual dari "merimnaō": ia membuat fokus kita bergeser dari Allah, karena jiwa kita sibuk menimbang kemungkinan-kemungkinan yang bahkan belum tentu terjadi. Karena itu, Yesus menuntun kita pada poros utama pengajaran-Nya dalam ayat 33: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Kata “carilah” dalam bahasa Yunani menggunakan bentuk kata kerja "zēteite" yang bermakna usaha yang berkelanjutan, bukan sekali lalu selesai, melainkan sebuah orientasi hidup. Fokus kita dipanggil agar tidak terpecah, melainkan utuh tertuju pada Allah dan Kerajaan-Nya. Dengan kata lain, keutuhan hati yang terbelah oleh "merimnaō" hanya bisa dipulihkan jika pusat hidup kita kembali pada Kerajaan Allah. Di sinilah paradoks Injil: semakin kita mencari kepastian melalui usaha yang seolah dapat kita usahakan sendiri, semakin hati kita terpecah. Sebaliknya, semakin kita mencari Allah, justru kebutuhan kita akan ditambahkan. Ayat 34 lalu melengkapi ayat 33 dengan realisme penuh kasih: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Setelah mengarahkan hati kita pada Kerajaan Allah, Yesus mengajarkan sikap untuk hidup dalam “hari ini.” Kecukupan kasih karunia Allah tidak diukur dengan akumulasi harta atau segala upaya yang dapat kita lakukan, melainkan dengan kesetiaan-Nya yang hadir dari hari ke hari. Hati yang terpecah oleh bayangan masa depan dipanggil untuk disatukan kembali dengan keyakinan bahwa hari ini dan hari depan cukup karena Allah ada di dalamnya. Khotbah ini mengajarkan bahwa tujuan hidup orang percaya bukanlah bebas dari masalah, melainkan bebas dari hati yang terpecah. Agustinus dari Hippo (354-430) pernah menegaskan, hati manusia hanya akan menemukan ketenangan ketika beristirahat dalam Allah. Pendapat Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) dapat menambahkan menambahkan Agustinus, “kekuatiran adalah menolak untuk mengizinkan Allah menjadi Allah di dalam hidup kita.” Maka setiap kali kita membiarkan hati terbelah oleh kekuatiran, kita sesungguhnya sedang menyingkirkan Allah dari pusat hidup kita. Karena itu, khotbah ini adalah panggilan menuju "integritas cordis"—keutuhan hati yang hanya mungkin ketika Allah menjadi pusatnya. "Integritas cordis" bukan sekadar keadaan bebas dari cemas, melainkan cara iman mengelola kekuatiran agar tidak menelan pengharapan. Dengan hati yang utuh, kita dapat menatap masa depan bukan dengan rasa takut, tetapi dengan pengharapan yang berakar pada janji Allah. Di tengah kesusahan yang cukup untuk sehari, integritas cordis menolong kita untuk percaya bahwa hari esok pun sudah berada dalam tangan kasih karunia Allah. Maka, jangan biarkan hati kita retak oleh bayangan esok yang belum datang, sebab Allah yang memelihara kita hari ini juga akan memelihara kita besok.
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah