Logo GKPI

Pemulihan Umat Allah (Gereja)

Nas: Amos 9:11-15 | Ibadah Minggu
🗓️ Tanggal: 21 Sep 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Percakapan eklesiologis yang sedang populer akhir-akhir ini adalah mengenai Mega Church. Menurut Britannica Online, Mega Church adalah gereja Protestan dengan jumlah jemaat yang besar, biasanya didefinisikan sebagai gereja yang menarik setidaknya 2.000 jemaat setiap minggunya. Di Indonesia, fenomena Mega Church semakin marak. Kita mengenal JPCC di Mega Kuningan, yang berakar kuat pada model Mega Church di Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah Gereja Saddleback yang didirikan oleh Rick Warren, yang kemudian terkenal melalui karyanya Purpose Driven Church. Bagi kalangan Pentakostal dan Karismatik konvensional, fenomena Mega Church ini menjadi diskusi hangat. Hal itu terbukti dari banyak teolog Pentakosta Indonesia yang membahasnya dengan serius. Kegelisahan utama mereka terhadap fenomena Mega Church terletak pada diskursus tentang liturgi atau ibadah. Sebab ibadah bukanlah praktik bergereja untuk sekadar memuaskan dahaga personal. Ibadah seharusnya menciptakan pribadi yang relate to; setiap pribadi berelasi dengan pribadi yang lain. Dengan kata lain, personalitas yang dihasilkan oleh ibadah adalah pribadi yang hidup di dalam relasi dengan sesama. Kita perlu jujur menyadari bahwa Mega Church sering kali menciptakan spiritualitas yang dipusatkan di atas panggung megah, dengan permainan lampu yang memesona, sound system yang menggelegar, dan gaya beribadah yang menyerupai konser musik. Sorotan lampu diarahkan ke panggung, sementara jemaat yang beribadah dengan bebas hanya berada dalam cahaya yang redup. Akibatnya, panggung menjadi arena tontonan, dan terbuka kemungkinan bahwa relate to antarjemaat dalam ibadah itu terhalang oleh redupnya cahaya di sekitar mereka. Karena itu, keterhalangan relate to dalam ibadah seperti ini tidak boleh diterima begitu saja. Justru sikap kritis terhadap dinamika spiritual semacam itu harus senantiasa dipelihara. Relate to dalam bingkai gereja harus menjadi inti persekutuan. Sebab persekutuan tanpa relate to pada hakikatnya bukanlah persekutuan. Dan jika corak persekutuan dalam gereja tereduksi, maka gereja bukan lagi gereja. Dalam bahasa Jerman, kata “persekutuan” dapat diterjemahkan dengan dua istilah: Gesellschaft dan Gemeinde. Gesellschaft adalah bentuk kebersamaan yang dibangun di atas dasar kesepakatan atau kepentingan tertentu. Relasi di dalamnya lebih banyak ditentukan oleh fungsi, aturan formal, dan sering kali tanpa kedekatan pribadi. Model ini lebih mirip organisasi modern yang berjalan berdasarkan administrasi dan hukum yang ketat. Sebaliknya, Gemeinde menunjuk pada sebuah persekutuan yang lahir dari kehidupan bersama, diikat oleh relasi yang hangat dan keterhubungan batin. Di dalamnya, hubungan antarsesama bersifat alami, penuh arti, dan ditandai oleh saling berbagi kehidupan. Bentuk kebersamaan ini mencerminkan gambaran jemaat Kristen mula-mula sebagaimana dituturkan dalam Kisah Para Rasul 2:42–47. Martin Luther menegaskan bahwa gereja bukan sekadar Gesellschaft (organisasi luar yang hanya ditata oleh struktur), melainkan Gemeinde — persekutuan orang percaya yang dipersatukan oleh Firman Allah dan Sakramen. Menurut Luther, gereja sejati hadir di mana Firman diberitakan dengan setia dan Sakramen dilaksanakan sesuai dengan kehendak Kristus. Maka ciri khas Gemeinde adalah kehidupan yang tumbuh dari Injil, hidup dan bergerak sebagai persekutuan iman, bukan sekadar tatanan hukum atau administrasi. Lantas, apa hubungannya dengan bacaan kita hari ini? Dalam Amos 9:11–15 kita menemukan janji Tuhan: “Pada hari itu Aku akan menegakkan kembali pondok Daud yang telah roboh; Aku akan menutup pecahannya, mendirikan kembali reruntuhannya dan membangunnya seperti di zaman dahulu kala” (ay. 11). Gambaran ini bukan sekadar restorasi bangunan fisik, melainkan pemulihan persekutuan umat Allah. Umat yang tercerai-berai akan dikembalikan ke dalam satu rumah rohani, tempat mereka hidup bersama dalam sukacita dan kelimpahan kasih karunia. Setiap umat tidak lagi hidup hanya untuk dirinya sendiri, tetapi dalam relasi dengan yang lain, meniru relasi yang ada di dalam persekutuan Allah Tritunggal. Jika kita hubungkan dengan percakapan eklesiologis masa kini, terutama fenomena Mega Church, kita diingatkan untuk berhati-hati agar gereja tidak jatuh hanya menjadi Gesellschaft: sebuah organisasi besar dengan tata kelola yang rapi, panggung yang megah, cahaya yang gemerlap, dan relasi yang bersifat formal atau konsumtif. Model seperti ini mungkin bisa mengumpulkan massa dalam jumlah besar, tetapi tidak otomatis menghadirkan persekutuan sejati. Sebab ibadah bukanlah sekadar pemenuhan dahaga personal, melainkan penciptaan relasi antarpribadi yang saling meneguhkan di hadapan Allah. Di sinilah nubuat Amos menyingkapkan visi pemulihan: Allah ingin membangun umat-Nya sebagai Gemeinde, sebuah persekutuan yang hidup dalam kebersamaan, saling berbagi, dan diikat oleh kasih Allah. Lihatlah bagaimana ayat 13–14 menggambarkan kelimpahan: “pembajak akan tepat menyusul penuai… gunung-gunung akan meniriskan anggur baru… Aku akan memulihkan kembali umat-Ku Israel.” Ini adalah simbol bahwa dalam persekutuan sejati, hidup bersama dipenuhi oleh hasil dan sukacita yang tidak pernah habis. Dengan demikian, menurut Amos 9:11–15, gereja sejati bukan ditentukan oleh besarnya gedung atau megahnya panggung, melainkan oleh pemulihan relasi di dalam Tuhan. Gereja dipanggil untuk menjadi Gemeinde: persekutuan yang hidup, di mana setiap orang tidak hanya hadir sebagai penonton, melainkan berpartisipasi dalam relasi yang saling menopang, saling menguatkan, dan bersama-sama menikmati kelimpahan kasih karunia Allah. Lebih lanjut, ayat 15 berkata: “Aku akan menanam mereka di tanah mereka sendiri, dan mereka tidak akan dicabut lagi dari tanah yang telah Kuberikan kepada mereka.” Gambaran ini begitu kuat. Tuhan sendirilah yang menanam umat-Nya, bukan sekadar menaruh atau menempatkan mereka. Kata “menanam” menggambarkan proses penuh kesabaran: ada tanah yang diolah, ada akar yang tumbuh, dan ada janji akan berbuah di masa depan. Artinya, persekutuan umat Allah bukan sesuatu yang rapuh atau mudah goyah, melainkan komunitas yang berakar dalam kasih setia Tuhan. Di tengah dunia yang berubah begitu cepat, bahkan di tengah fenomena Mega Church yang tampak besar dan megah, gereja sejati bukanlah fenomena sesaat yang hanya mengikuti arus zaman. Gereja sejati adalah persekutuan yang ditanam dalam kasih karunia, dijaga oleh tangan Allah sendiri, dan diteguhkan untuk bertahan dalam segala musim. Ibarat pohon yang berakar dalam, gereja dipanggil untuk tidak mudah tercabut oleh badai dunia, melainkan tetap berdiri sebagai rumah di mana umat Allah menemukan akar iman dan pengharapan mereka. Dengan demikian, janji pemulihan dalam Amos 9:15 tidak hanya berlaku bagi Israel pada zamannya, tetapi juga bagi gereja masa kini: Tuhan meneguhkan persekutuan-Nya agar tetap tinggal, tidak terhanyut oleh tren, melainkan berakar pada Firman dan Sakramen. Di situlah gereja menemukan keteguhan—bukan di atas panggung, bukan di bawah sorotan lampu—melainkan dalam kasih Allah yang menanam dan memelihara umat-Nya. Inilah visi eklesiologi yang tampak dalam nas ini: gereja sebagai tanda pemulihan Allah. Panggilan bagi kita adalah menjaga agar visi eklesiologi tersebut tetap berakar dalam kehidupan bergereja kita, khususnya di GKPI. Saatnya kita berhenti sejenak untuk merefleksikan perjalanan yang sudah ditempuh, dan perjalanan yang masih akan dijalani gereja kita. Tidak jarang, kita mudah terjebak pada gereja sebagai organ yang hanya berjalan dalam rute formalitas, sementara hakikat mendasar bergereja semakin hilang. Salah satu contoh adalah penggunaan istilah Rencana Strategis (Renstra) di GKPI, yang setiap tahun digaungkan. Namun, jiwa dari Renstra itu sering kali samar, sehingga anggota jemaat menganggapnya sebagai sesuatu yang asing. Belum lagi, tahun 2025 menjadi momentum periodesasi di semua aras GKPI, yang puncaknya akan terjadi pada 14–19 Oktober 2025 melalui Sinode Am Periode. Pada saat-saat seperti ini, rekatan personal dalam komunitas mudah retak hanya karena perbedaan pilihan. Masih ada di antara kita yang marah ketika orang lain tidak memilihnya. Bahkan lebih jauh, pilihan yang berbeda kerap dianggap sebagai ancaman. Di tengah situasi seperti itu, intimidasi yang merusak relasi menjadi senjata ampuh untuk menciptakan basis pemilih. Semua ini terjadi hanya demi menuntaskan mekanisme formal Sinode Am, sementara visi mendasar bergereja sebagai Gemeinde justru tergerus dan menguap. Tentu saja hal ini tidak boleh kita biarkan. Kita harus kembali kepada firman dalam nas hari ini tentang pemulihan Allah bagi umat-Nya. Kabar pemulihan itu menggerakkan setiap orang dalam persekutuan gereja untuk berakar dalam hidup bersama, di dalam relasi dengan sesama. Inilah visi yang mendasari seluruh perjalanan GKPI. Menggunakan istilah Agustinus dari Hippo (354–430), inilah model communio caritatis: umat yang membangun relasi dengan sesama, sebagaimana Allah berelasi dengan manusia. Bahkan kita harus menegaskan: inilah visi ke depan GKPI. Kita yakin, melalui visi ini GKPI akan tetap bertahan di tengah arus zaman, dan tetap berpartisipasi dalam misi Allah bagi dunia. Semoga.
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah