Logo GKPI

Spiritualitas Kembali

Nas: Yeremia 3:14-18 | Ibadah Sektor
🗓️ Tanggal: 16 Sep 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Yeremia 3:14–18 lahir di tengah krisis iman dan politik Israel. Umat Allah terjebak dalam penyembahan berhala dan perpecahan antara Yehuda di selatan dan Israel di utara. Di tengah teguran keras yang sering disampaikan nabi Yeremia, bagian ini justru menghadirkan nada penuh kasih: Allah memanggil umat-Nya yang murtad untuk kembali. Kata yang dipakai adalah shûvû (kembalilah), sebuah kata yang menunjukkan pertobatan bukan sekadar meninggalkan dosa, melainkan berbalik arah menuju Allah. Menarik bahwa Allah menyebut umat itu sebagai banîm shôvavîm (anak-anak yang murtad), sebuah ungkapan yang menandakan bahwa meskipun mereka gagal, relasi sebagai anak tetap tidak terputus. Allah membuka jalan pulang melalui kasih-Nya. “Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, sebab Akulah Tuhanmu,” demikian panggilan-Nya. Kasih yang diungkapkan di sini bukan kasih abstrak, tetapi kasih yang memulihkan. Allah bahkan berjanji akan mengambil sisa umat—“satu dari kota, dua dari kaum”—dan membawa mereka kembali ke Sion. Pemulihan itu akan diwujudkan dengan kehadiran para gembala yang menggembalakan dengan pengetahuan dan pengertian, artinya iman tidak lagi dipelihara oleh ritual kosong, melainkan oleh relasi yang sehat dengan Allah melalui kepemimpinan yang benar. Dari sini kita belajar bahwa spiritualitas kembali selalu dimulai dari kerendahan hati untuk mengakui bahwa tanpa kasih Allah, manusia kehilangan arah. Lebih lanjut, Yeremia menubuatkan bahwa akan tiba saat ketika tabut perjanjian, lambang kehadiran Allah, tidak lagi diingat, dirindukan, atau dibuat kembali. Hal ini bukan berarti kehadiran Allah dihapuskan, tetapi justru ditegaskan bahwa Allah sendiri yang berdiam di tengah umat-Nya. Yerusalem akan disebut “takhta Tuhan,” pusat iman yang bukan lagi simbol buatan, melainkan hadirat Allah yang sejati. Di sini kita melihat sebuah pergeseran rohani: iman tidak boleh bergantung pada benda, tradisi, atau berhala, melainkan pada Allah yang hidup. Pandangan ini sejalan dengan pengakuan Agustinus dari Hippo dalam Confessiones: “Engkau telah menciptakan kami untuk Engkau, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai beristirahat di dalam Engkau.” Manusia sering menggantikan Allah dengan hal-hal duniawi, tetapi hanya Allah sendiri yang bisa memberi istirahat sejati bagi jiwa. Karena itu, spiritualitas kembali menuntut kita meninggalkan ketergantungan pada simbol-simbol atau berhala modern—seperti materi, teknologi, dan kekuasaan—dan kembali menjadikan Allah sebagai pusat hidup. Janji Allah tidak berhenti pada pemulihan relasi pribadi dengan-Nya, melainkan juga menyentuh kehidupan sosial. Yeremia menubuatkan bahwa Yehuda dan Israel yang terpecah akan dipersatukan kembali. Pemulihan rohani membawa pemulihan relasi sosial dan politik. Dalam tradisi patristik, Klemens dari Aleksandria menekankan bahwa pertobatan sejati adalah “kembali ke dalam kesatuan dengan Sang Logos.” Kesatuan dengan Kristus berarti juga kesatuan dengan tubuh Kristus, yakni umat Allah. Dengan demikian, spiritualitas kembali bukan hanya pengalaman batin, tetapi menghasilkan buah nyata berupa perdamaian dan kesatuan di tengah komunitas. Gereja dipanggil menjadi tanda kesatuan itu, menghadirkan damai alih-alih perpecahan. Bagi kita pada masa kini, pesan Yeremia 3:14–18 amat relevan. Secara pribadi, kita diingatkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar daripada kasih Allah; pintu pulang selalu terbuka. Secara komunitas, gereja dipanggil untuk meneladani Allah yang memulihkan dengan menghadirkan pemimpin yang menggembalakan dengan pengertian dan kasih, bukan sekadar dengan aturan kaku. Secara lebih luas, bangsa kita yang sering terpecah karena kepentingan politik, sosial, dan ekonomi, dipanggil untuk kembali kepada Allah sebagai sumber kesatuan yang sejati. Akhirnya, Yeremia menegaskan bahwa spiritualitas kembali adalah jalan pulang: kembali kepada relasi kasih Allah, kembali kepada Allah sebagai pusat iman, dan kembali kepada persatuan serta damai. Panggilan ini menggemakan kerinduan terdalam manusia sebagaimana diungkapkan Agustinus: hati manusia akan selalu gelisah sampai beristirahat di dalam Allah. Maka ajakan Allah, “Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, sebab Akulah Tuhanmu,” bukan sekadar ajakan moral, melainkan sebuah undangan kasih untuk menemukan identitas sejati, kesatuan, dan damai yang hanya ada dalam Dia.
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah