Allah Menyertai di Balik Layar: Iman yang Tidak Bisa Diunduh
    Nas: Kejadian 39:1-6 | Ibadah Minggu
    đď¸ Tanggal: 14 Sep 2025
    đ¤ Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Pemuda masa kini hidup dalam dunia yang bergerak begitu cepat oleh derasnya arus teknologi digital. Semua yang dahulu memerlukan waktu, jarak, dan tenaga kini hadir dalam genggaman: informasi dapat diakses dalam hitungan detik, hiburan tersedia tanpa batas, dan pertemanan terjalin melalui layar ponsel tanpa harus bertatap muka. Namun kecepatan yang memudahkan ini sering kali justru berbenturan dengan irama iman yang menuntut proses berbedaâirama yang lambat, penuh kesabaran, hening, dan refleksi mendalam. Iman bukanlah hasil instan yang bisa diunduh atau ditonton dalam format singkat, melainkan buah perjalanan panjang yang diolah dalam doa, permenungan, dan ketekunan dalam firman. Di sinilah muncul ketegangan: ketika jiwa manusia dipaksa mengikuti ritme digital yang cepat, hati menjadi sulit untuk dilatih mendengar suara Allah yang berbicara dalam keheningan.
Distraksi dari notifikasi, arus konten singkat yang tak ada habisnya, dan pencarian pengakuan melalui âlikes,â âcomments,â atau âviewsâ perlahan menumpulkan kepekaan rohani. Pemuda yang semestinya menemukan jati diri dalam Kristus sering kali lebih ditentukan oleh sorotan digitalâapakah ia diterima, diakui, atau diviralkan. Identitas rohani tergeser menjadi identitas maya, yang rapuh dan mudah berubah sesuai tren. Dalam ranah moral, tantangan lebih berat lagi. Ruang digital adalah tempat di mana berlapis-lapis opini hadir bersamaan, sehingga kebenaran iman tampak hanya seperti satu pilihan kecil di antara ribuan narasi lain. Norma Alkitab dianggap kaku, kolot, atau tidak relevan, sementara standar benar dan salah menjadi kabur. Semua yang populer, viral, atau trending dianggap benar, dan yang tidak sesuai dengan arus dianggap usang.
Lebih jauh lagi, paparan pornografi, ujaran kebencian, berita bohong, dan berbagai konten negatif yang begitu mudah diakses menimbulkan bahaya yang serius. Hati nurani bisa tumpul, rasa bersalah makin menipis, dan komitmen hidup kudus perlahan melemah. Jiwa yang seharusnya dipenuhi kasih, sukacita, dan kesetiaan, kini disusupi oleh hal-hal yang memperbudak dan merendahkan martabat manusia. Ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan krisis spiritual dan moral yang nyata. Dunia digital menawarkan ruang tanpa batas, tetapi tanpa pendalaman iman, pemuda justru terjebak dalam kekosongan batin yang besar.
Namun, paradoksnya, teknologi digital juga dapat menjadi sarana pertumbuhan rohani jika digunakan dengan bijak. Aplikasi Alkitab, komunitas iman virtual, dan renungan online bisa memperkaya kehidupan rohani, asalkan pemuda belajar menguasai teknologi tanpa diperbudak olehnya. Di sinilah kisah Yusuf dalam Kejadian 39:1â6 memberi cermin yang berharga. Yusuf, yang dijual sebagai budak dan terlempar ke tanah asing, justru mengalami penyertaan Allah yang nyata. Frasa âTuhan menyertai Yusufâ (×Ö°××Ö¸Ö× ×˘Ö´×Öž××֚ץ־Öף) bukanlah pernyataan kosong, melainkan penegasan bahwa Allah hadir bukan dari kejauhan, melainkan menyatu dengan seluruh proses hidup Yusufâdalam kerjanya, relasinya, dan bahkan dalam status sosialnya yang paling rendah. Kehadiran Allah tidak menghapus penderitaan, tetapi mengubah maknanya: Yusuf tetap seorang budak, tetapi menjadi pengelola yang dipercaya; ia tetap terasing, tetapi hidupnya menjadi saluran berkat.
Bapa Gereja, Yohanes Krisostomus, mengatakan, ketika Allah menyertai kita, penjara pun bisa menjadi istana, dan penderitaan menjadi sekolah kebajikan. Penyertaan Allah, dengan demikian, bukan jimat keberuntungan, melainkan kebersamaan aktif yang memberi kekuatan dan arah di tengah situasi rapuh. Bahkan logika perbudakan yang meniadakan martabat manusia dipatahkan oleh penyertaan Allah. Secara hukum, Yusuf memang milik Potifar, tetapi secara eksistensial ia adalah milik Allah. Perubahan itu terlihat ketika Potifar menyadari bahwa berkat Allah hadir melalui Yusuf, hingga Yusuf tidak lagi sekadar hamba, melainkan pengelola rumah tangga. Kisah ini memberi kritik halus terhadap sistem yang memperbudak manusia, baik pada zaman kuno maupun bentuk modernnya: eksploitasi kerja, perdagangan manusia, bahkan âperbudakan digitalâ yang membuat pemuda kehilangan kebebasan sejati karena diperbudak layar dan algoritma.
Penyertaan Allah menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh menjadi milik orang lain, sebab martabat manusia ditentukan oleh Allah sendiri. Dalam Kristus, hal ini mencapai puncaknya: âAku tidak menyebut kamu lagi hamba, melainkan sahabatâ (Yoh. 15:15). Allah hadir bukan hanya untuk menemani, tetapi untuk membebaskan. Maka, pesan Kejadian 39 bukan sekadar kisah sukses seorang budak yang berhasil, melainkan kisah pembebasan yang senyapâAllah hadir di tengah sistem yang menindas, dan kehadiran-Nya meruntuhkan logika perbudakan itu.
Bagi pemuda di era digital, ini adalah kabar penting. Kehadiran Allah berarti bahwa kita tidak pernah sendirian, bahkan ketika dikelilingi oleh arus distraksi dan godaan maya. Memang, kita seolah terlempar ke arus perkembangan digital yang luar biasa, bagai Yusuf terlempar ke dunia orang Mesir. Di situasi yang demikianlah penyertaan Allah menjadi sangat penting. Di tengah keterlemparan itu, kita harus meyakini, di sana ada gerak penyertaan Allah. Keyakinan demikian akan mengokohkan diri sendiri agar tidak menyerah sehingga tunduk pada perbudakan dunia digital. Lebih dari itu, penyertaan Allah juga menjadi seruan untuk melawan segala bentuk perbudakan yang merendahkan martabat manusia. Penyertaan Allah menjadi respons radikal terhadap ancaman perkembangan teknologi yang sedang mengarah pada gaya perbudakan baru, ketika kita menundukkan diri di bawah kekuatan teknologi digital, seolah kita tidak butuh pada penyertaan Allah.
Pemuda dipanggil untuk hidup bebas dalam Kristus, tidak dikuasai oleh likes, algoritma, atau tekanan sosial, melainkan ditopang oleh Allah yang menyatu dengan hidup mereka. Pertumbuhan spiritual di era digital bukanlah perkara melarikan diri dari teknologi, tetapi menghidupi penyertaan Allah agar dapat mengubah layar menjadi alat kesaksian, waktu hening menjadi ruang perjumpaan, dan identitas diri ditopang bukan oleh dunia maya, melainkan oleh Allah yang senantiasa hadir. Layar bukan lagi segala sesuatu, yang menundukkan dan memperbudak diri kita.
Langkah konkret yang dapat ditempuh pemuda untuk merasakan penyertaan Allah di tengah derasnya arus digital dimulai dari membangun disiplin rohani yang teratur. Waktu teduh, doa, dan pembacaan firman perlu menjadi jangkar yang menyeimbangkan derasnya notifikasi. Pemuda dapat memilih untuk menata penggunaan gawai, misalnya dengan menetapkan batas waktu layar, menyingkirkan konten yang melemahkan iman, serta menggantinya dengan bacaan atau tayangan yang membangun jiwa. Kehadiran Allah juga bisa dialami melalui komunitas digital yang sehatâbergabung dengan kelompok doa atau persekutuan online yang saling menguatkan, bukan sekadar terjebak dalam percakapan maya yang dangkal. Penyertaan Allah akan semakin nyata ketika pemuda menjadikan teknologi bukan sekadar hiburan, tetapi wadah untuk berbagi kasih, menyebarkan pengharapan, dan menjadi terang Kristus. Dengan cara ini, mereka tidak hanya bertahan di tengah arus digital, tetapi juga menghadirkan transformasi: menjadikan dunia maya sebagai ruang pelayanan, dan menjadikan hidup nyata mereka sebagai saksi bahwa Allah benar-benar menyertai.
(Disampaikan dalam Ibadah Minggu Pukul 08.00 di GBKP Jalan Sei Batang Serangan)
    
    
  đ¤ Bagikan via WhatsApp
    â Kembali ke Daftar Khotbah