Saat Ibadah Hanya Jadi Lagu Kosong
    Nas: Amos 8:1–12 | Ibadah Sektor
    🗓️ Tanggal: 22 Jul 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,
Bayangkan sebuah rumah ibadah yang penuh dengan suara nyanyian. Lantunan lagu-lagu pujian mengisi udara. Doa-doa terdengar khusyuk. Persembahan dibawa ke depan dengan tertib. Dari luar, semua tampak indah. Tapi… di luar gedung ibadah itu, ada seorang janda tua yang kelaparan. Ada anak-anak yang bekerja keras, tapi upahnya tidak dibayar. Ada pedagang yang menipu timbangannya. Dan mereka yang baru saja menyanyi di gereja… diam saja melihat semua itu.
Inilah yang terjadi pada zaman Nabi Amos. Bangsa Israel tetap datang ke Bait Allah. Mereka beribadah, menyanyi, memberi persembahan. Tapi hidup mereka penuh dengan ketidakadilan. Mereka menindas orang miskin. Mereka mempermainkan Sabat, dan hanya ingin cepat-cepat selesai ibadah agar bisa kembali berdagang dan untung besar — meski harus curang.
Lalu Tuhan berkata, “Aku tidak tahan lagi. Aku akan mendiamkan firman-Ku.” Artinya, Tuhan memilih diam — bukan karena Ia pergi, tetapi karena umat tidak mau lagi mendengar. Tidak ada yang lebih menakutkan dalam hidup rohani daripada saat Tuhan berhenti berbicara, karena hati kita sudah tertutup.
Saudara-saudari,
Ibadah itu seharusnya seperti benih yang ditanam dalam hati. Ia tumbuh menjadi kesabaran, kasih, dan kebaikan. Tapi bila ibadah tidak membuat kita jadi orang yang lebih sabar, lebih jujur, lebih peduli… maka ibadah itu hanyalah lagu kosong. Tuhan tidak mencari suara kita yang merdu, tapi hati yang mau berubah.
Mungkin kita pernah berpikir: “Saya sudah rajin ke gereja. Saya sudah memberi kolekte.” Tapi pertanyaannya: apakah kita juga jujur di pasar? Apakah kita sabar kepada anak cucu? Apakah kita peduli pada yang susah?
Teolog Alexander Schmemann berkata: “Liturgi bukan pelarian dari dunia, tetapi pemulihan dunia.” Ibadah bukan tempat untuk lari dari kenyataan, tapi tempat di mana hati kita diperbarui agar bisa kembali ke dunia dan hidup lebih benar. Maka, ibadah sejati itu bukan hanya terjadi di dalam gereja. Tapi justru dimulai saat kita pulang dari gereja — saat kita memilih berkata benar, membantu yang lemah, dan hidup adil di rumah, di ladang, di pasar, di mana pun Tuhan menempatkan kita.
Saudara-saudari yang terkasih, Jangan biarkan ibadah kita jadi seperti buah musim panas yang terlihat manis di luar tapi sudah busuk di dalam. Jangan sampai Tuhan hanya mendengar suara nyanyian kita, tetapi tidak menemukan keadilan di hidup kita. Sebab Tuhan lebih senang hati yang tulus daripada seremoni yang ramai.
Marilah kita terus datang ke hadapan Tuhan bukan hanya dengan mulut, tapi dengan hati yang mau diubah. Sebab ibadah yang sejati adalah hidup yang dijalani dengan kasih, kejujuran, dan keadilan — itulah liturgi yang menghidupkan. Amin.
    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah