Menjaga Pelita di Tengah Penantian
    Nas: Matius 25:1-13 | Ibadah Kategorial
    🗓️ Tanggal: 11 Sep 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Hidup kita sering kali seperti menunggu sesuatu yang tidak kunjung datang. Kita menunggu anak pulang dari sekolah, menunggu kabar baik dari keluarga yang sakit, atau bahkan menunggu seseorang yang kita kasihi kembali dari perantauan. Menunggu itu bisa melelahkan, apalagi jika kita tidak tahu kapan persisnya yang kita nantikan itu tiba. Matius 25:1–13 menggambarkan sepuluh gadis yang menunggu kedatangan mempelai laki-laki. Ada yang bijaksana, ada pula yang bodoh. Bedanya sederhana: mereka yang bijaksana membawa minyak cadangan agar pelita tetap menyala, sementara yang bodoh tidak.
Jika kita perhatikan alur naratifnya, kisah ini bergerak melalui beberapa tahap penting. Pertama, ada situasi awal: sepuluh gadis menanti mempelai dengan pelita mereka. Narasi ini segera menimbulkan ketegangan, karena waktu kedatangan mempelai tidak jelas. Kedua, ada perkembangan konflik: mempelai terlambat datang, dan semua gadis tertidur. Ketiga, klimaks terjadi ketika mempelai akhirnya tiba di tengah malam, saat yang tidak terduga. Pada titik ini, perbedaan mencolok terlihat: gadis bijaksana siap dengan minyak cadangan, sedangkan gadis bodoh panik karena pelitanya padam. Akhirnya, resolusi dari narasi adalah pintu yang tertutup—sebuah simbol ketegasan Allah—yang tidak bisa lagi dibuka meskipun ada permohonan belakangan.
Analisa naratif ini menegaskan bahwa inti kisah bukan sekadar soal kesiapan teknis (ada minyak atau tidak), melainkan kesadaran akan sifat penantian yang tidak pasti. Semua gadis tertidur—ini realitas kemanusiaan. Tetapi perbedaan terletak pada siapa yang tetap membawa “cadangan iman,” yang membuat mereka siap meskipun tak tahu kapan tepatnya Sang Mempelai datang. Dengan kata lain, hidup beriman bukanlah soal intensitas sesaat, melainkan kesetiaan yang tahan lama.
Kisah ini pun seakan menyingkapkan kehidupan kita sehari-hari. Bukankah kita sering merasa cukup dengan apa yang ada sekarang, lalu abai mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang? Kita rajin di awal, tetapi pelan-pelan pelita iman kita meredup karena lupa mengisi “minyak” yang menjaga api itu tetap menyala. Minyak itu bisa berupa doa yang sederhana, perhatian kecil kepada sesama, atau kesetiaan dalam mengasihi, meski tanpa sorak-sorai. Agustinus pernah berkata, “Kasih adalah minyak yang menjaga pelita tetap menyala hingga sang Mempelai datang.” Tanpa kasih, semua kesibukan rohani hanyalah formalitas. Dengan kasih, bahkan hal-hal kecil seperti senyum, doa, atau mendengarkan cerita seorang sahabat bisa menjadi minyak yang berharga.
Sebagai perempuan, kita sering berada dalam posisi penanti: menanti anak, menanti suami pulang, menanti kepastian, menanti doa dijawab. Tetapi kisah gadis bijaksana mengingatkan kita bahwa menanti bukanlah pasif. Menanti berarti berjaga, menjaga hati agar tidak padam, menjaga pelita supaya terang tetap bersinar. Seperti kata Gregorius dari Nyssa, “Hidup orang beriman adalah perjalanan menuju terang, bukan berdiam dalam kegelapan.” Dan di sinilah refleksi kita menemukan pijakan: hidup ini adalah drama penantian, ketidakpastian adalah panggungnya, sementara iman, kasih, dan pengharapan menjadi minyak cadangan yang membuat kita tetap siap meski jalan panjang dan melelahkan. Origenes pun menegaskan, “Kesiapan rohani adalah terang yang memampukan kita melihat Sang Mempelai meski di tengah malam yang paling pekat.”
Mungkin kita bertanya: bagaimana jika mempelai itu terlalu lama? Bagaimana jika hidup terasa penuh ketidakpastian? Di situlah pentingnya minyak cadangan. Minyak cadangan itu bukan sesuatu yang besar, melainkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat iman bertahan. Misalnya, saat bangun pagi, berdoa singkat sambil menyiapkan sarapan. Atau ketika lelah, meluangkan waktu untuk sekadar bersyukur atas napas hari itu. Hal-hal sederhana itu menjaga kita agar tidak kehabisan minyak.
Matius menutup perikop ini dengan peringatan: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.” Kata-kata ini bukanlah ancaman, melainkan ajakan untuk hidup dengan penuh kesadaran. Hidup yang sadar adalah hidup yang tidak terlena oleh rutinitas, tetapi selalu siap menyambut kedatangan Sang Mempelai dengan pelita yang tetap bernyala.
Dan inilah penghiburan bagi setiap perempuan yang bergumul dalam penantian panjang: Tuhan tidak meminta kita menjadi sempurna tanpa kelemahan, tetapi Ia mengundang kita untuk setia menyalakan pelita dengan minyak kasih setiap hari. Kesetiaan dalam hal-hal kecil—doa yang sederhana, kerja yang tulus, kasih yang setia—adalah jawaban terhadap rasa letih menanti. Sebab Sang Mempelai tidak membiarkan kita menunggu dalam kesia-siaan, tetapi menjanjikan sukacita perjamuan kasih yang kekal. Maka, marilah kita berjalan bersama-Nya dengan pelita yang tetap bernyala, sambil percaya bahwa setiap penantian dalam iman tidak pernah sia-sia.
(Disampaikan dalam Ibadah Seksi Perempuan GKPI Air Bersih)    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah