Mengikut Kristus dengan Salib
Nas: Markus 8:34–38 | Ibadah Sektor
🗓️ Tanggal: 09 Sep 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Hidup manusia sering kali dipenuhi dengan pencarian kenyamanan. Kita terbiasa mencari jalan yang mudah, menghindari penderitaan, dan berharap bahwa bersama Allah semuanya akan berjalan lancar tanpa hambatan. Namun, pengalaman iman menunjukkan sesuatu yang berbeda. Jalan bersama Kristus bukanlah jalan yang ditaburi bunga, melainkan jalan yang penuh tantangan, air mata, bahkan pengorbanan. Justru dalam jalan yang berat itulah kita belajar menemukan makna yang lebih dalam tentang siapa kita dan siapa Allah yang kita ikuti.
Yesus tidak pernah memanggil orang dengan janji kemudahan. Ia justru berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Kata-kata ini seperti menyingkap jalan yang berbeda dari apa yang biasanya kita harapkan. Jalan bersama Kristus bukanlah jalan yang bebas hambatan, melainkan jalan yang sempit dan berbatu, tetapi di ujungnya ada kehidupan sejati.
Menyangkal diri adalah langkah pertama. Di sinilah kita belajar melepaskan keakuan yang sering ingin berkuasa. Selama diri sendiri masih menjadi pusat, kasih Allah sulit bertumbuh dengan bebas. Menyangkal diri berarti berani berkata: “bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” Itu bukanlah keputusan sekali jadi, melainkan latihan setiap hari. Dalam setiap pilihan kecil—dari cara kita berbicara, bekerja, hingga memperlakukan sesama—kita sedang belajar menyingkirkan ego agar Kristus semakin nyata.
Setelah menyangkal diri, Yesus berbicara tentang salib. Pada zaman itu, salib adalah tanda penghinaan dan kematian. Maka ketika Yesus berkata bahwa murid-murid harus memikul salib, Ia tidak sedang menggunakan kiasan yang ringan, melainkan menunjuk pada kenyataan yang paling pahit. Namun yang menarik, Yesus tidak hanya memerintahkan, Ia sendiri melakukannya. Ia memikul salib itu dengan segala penderitaan, dengan tubuh yang disiksa, dengan darah yang menetes di sepanjang jalan menuju Golgota.
Di sanalah kita melihat betapa teguh integritas-Nya. Ia tidak melarikan diri dari jalan yang telah dipilih-Nya, Ia tidak menukar misi-Nya dengan keselamatan diri. Dalam setiap langkah yang berat, Yesus menunjukkan bahwa kesetiaan kepada kehendak Bapa lebih kuat daripada derita yang ditanggung tubuh. Integritas-Nya nyata dalam keberanian untuk tetap berjalan ketika orang menghina, memukul, bahkan ketika dunia seakan menutup mata.
Itulah wajah sejati dari memikul salib: kesetiaan yang tidak tergoyahkan, cinta yang tidak berbelok arah, komitmen yang tidak retak oleh penderitaan. Dan ketika Yesus berkata bahwa barangsiapa mau mengikut Dia harus memikul salibnya, Ia sedang mengundang kita untuk berjalan di jalan yang sama—jalan di mana integritas iman diuji bukan dengan kata-kata, melainkan dengan kesetiaan dalam penderitaan.
Di balik itu Yesus menyingkapkan sebuah rahasia: siapa yang berusaha mempertahankan nyawanya justru akan kehilangan, tetapi siapa yang rela kehilangan nyawanya karena Dia akan menemukan hidup yang sejati. Dunia sering menawarkan banyak hal—harta, kuasa, pengakuan—tetapi Yesus mengingatkan bahwa semuanya fana. Apa gunanya memiliki seluruh dunia bila pada akhirnya jiwa sendiri hilang? Pertanyaan ini menembus hati, mengajak kita berhenti sejenak, dan menimbang ulang arah langkah kita: apakah yang kita kejar hanya sekadar keuntungan sesaat, ataukah kehidupan yang tidak pernah berakhir?
Mengikut Kristus memang tidak mudah. Tetapi pada jalan yang sempit itu tersimpan keindahan yang dalam. Apa yang di awal tampak penuh duri, di ujungnya justru menyimpan bunga kehidupan. Apa yang pada permulaan terasa berat, pada akhirnya membawa kelegaan sejati. Ada mahkota di balik salib, ada kemuliaan di balik penderitaan, ada kehidupan kekal di balik kematian. Itulah janji yang membuat kita tetap berani melangkah, karena di ujung perjalanan, Kristus menanti—bukan dengan tangan kosong, tetapi dengan kehidupan yang penuh, kehidupan yang sejati.
📤 Bagikan via WhatsApp
← Kembali ke Daftar Khotbah