Spiritualitas Bergereja yang Holistik
Nas: 1 Tesalonika 5:12-24 | Ibadah Sektor
ποΈ Tanggal: 26 Aug 2025
π€ Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
Bayangkan sebuah meja kayu tua di ruang makan sebuah rumah. Meja itu sederhana, tidak mewah, namun di sanalah keluarga berkumpul, berbagi cerita, dan saling menguatkan. Meja itu bukan sekadar furnitur; ia adalah ruang hidup bersama, tempat setiap orang diterima apa adanya. Demikianlah spiritualitas bergereja yang holistik β bukan bangunan megah, bukan program yang rapi tersusun, bukan pula daftar kewajiban yang harus dipenuhi, melainkan ruang persekutuan di mana Allah sendiri bekerja di tengah keberadaan kita yang rapuh. Gereja adalah meja tempat setiap orang duduk bersama, berbagi sukacita dan air mata, dan mengalami kesetiaan Allah yang memelihara kita.
Spiritualitas bergereja yang holistik bukan sekadar sebuah daftar kewajiban jemaat, melainkan sebuah cara memandang gereja sebagai ruang hidup bersama, di mana Allah sendiri bekerja di tengah keberadaan kita yang rapuh. Paulus menulis kepada jemaat Tesalonika yang masih muda, yang hidup dalam tekanan dari luar dan kegelisahan dari dalam. Namun ia tidak mengatur mereka dengan tangan besi; ia mendampingi dengan wajah seorang gembala yang mengenal domba-dombanya. Gereja, bagi Paulus, bukanlah proyek manusia yang harus diatur dengan ketat, tetapi tubuh yang dihidupkan Roh β tubuh yang tumbuh bukan karena kekuatan kita, melainkan karena kesetiaan Allah yang merangkul kita.
Dalam suratnya, Paulus mengajak jemaat untuk merawat keseimbangan antara iman, kasih, dan pengharapan. Pengharapan akan kedatangan Kristus bukan alasan untuk berhenti bergerak, melainkan sumber sukacita yang membebaskan kita dari rasa takut. Iman menjadi daya tahan yang memampukan jemaat melangkah di tengah ancaman, kasih menjadi napas yang menjaga relasi tetap hangat, dan pengharapan menjadi horizon yang terus mengundang kita maju. Bila salah satu hilang, gereja menjadi kaku, kabur, atau kosong. Paulus tidak menegur dengan nada penguasa, melainkan mengundang jemaat untuk melihat para pemimpin rohani mereka bukan sebagai pengendali, tetapi sebagai sahabat seperjalanan yang juga sedang belajar setia.
Kehidupan bergereja, bagi Paulus, bukan tentang siapa yang paling kuat atau paling benar, melainkan tentang bagaimana setiap orang saling menopang. Gereja yang sehat bukanlah ruang di mana yang kuat menghakimi yang lemah, melainkan rumah di mana yang lemah dihibur, yang tawar hati dikuatkan, dan yang tersandung ditopang. Paulus menulis, βjangan membalas jahat dengan jahat, tetapi kejarlah kebaikan,β karena gereja dipanggil menjadi tanda kasih Kristus, bukan cermin dari kerasnya dunia. Pertanyaan bagi kita: ketika orang datang ke gereja, apakah mereka menemukan pelukan atau pengadilan? Apakah mereka merasakan Kristus yang hadir melalui tatapan dan genggaman saudara seiman?
Di tengah panggilan untuk saling membangun, Paulus tidak lupa mengingatkan bahwa kehidupan rohani harus dijaga terus-menerus. Sukacita yang kokoh, doa yang tak pernah putus, hati yang senantiasa bersyukur, kepekaan pada suara Roh, kemampuan menguji segala sesuatu dengan Firman, dan keberanian menjauhi kejahatan β semua ini bukan sekadar disiplin pribadi, melainkan cara kita hidup dalam ketergantungan pada Allah. Seperti api unggun yang terus diberi kayu agar tidak padam, demikian juga api Roh di dalam kita perlu dijaga. Namun Paulus sadar, ini bukan tentang usaha kita semata. Hidup rohani adalah respons terhadap Allah yang sudah lebih dulu berkarya di dalam kita.
Surat ini mencapai puncaknya dalam sebuah doa yang lembut: Allah sendiri akan menguduskan kita seutuhnya β roh, jiwa, dan tubuh. Kita tidak berjalan sendirian dalam ketakutan akan gagal, sebab Dia yang memanggil kita adalah setia. Paulus tidak sedang memberi resep sukses rohani; ia sedang meyakinkan jemaat bahwa Allah tidak akan melepaskan tangan mereka. Iman Kristen bukan tentang bertahan karena kekuatan kita, melainkan tentang percaya bahwa Allah yang memegang kita tak akan pernah melepaskan.
Inilah spiritualitas bergereja yang holistik: sebuah perjalanan bersama dalam keseimbangan iman, kasih, dan pengharapan; sebuah komunitas yang saling membangun, bukan saling menghakimi; sebuah kehidupan rohani yang terjaga bukan oleh ambisi manusia, melainkan oleh ketaatan pada Roh; dan sebuah keyakinan bahwa Allah yang setia sedang menyempurnakan kita. Gereja sejati bukan sekadar perkumpulan mingguan, melainkan tubuh Kristus yang bertumbuh, dipelihara, dan dirangkul oleh kesetiaan-Nya.
π€ Bagikan via WhatsApp
β Kembali ke Daftar Khotbah