Logo GKPI

Kasih Setia Tuhan Untuk Selamanya

Nas: Mamzur 103:15-18 | Ibadah Minggu
🗓️ Tanggal: 23 Aug 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Banyak filsuf sejak zaman kuno bertanya: apakah ada sesuatu yang tetap, sementara segala sesuatu di dunia ini berubah dan rapuh? Herakleitos mengatakan bahwa dunia adalah arus yang terus mengalir—"panta rhei”, segala sesuatu berubah. Para Stoik melihat kosmos sebagai “to pan”, kesatuan hidup yang tertib diatur oleh akal ilahi. Dalam bahasa Latin, kata “omnia” menunjuk pada segala sesuatu yang ada, seluruh realitas yang menjadi satu kesatuan. Semua pandangan ini berusaha mencari makna di balik kefanaan hidup: adakah sesuatu yang kekal ketika manusia hanya sekejap seperti bunga di padang? Pertanyaan ini sesungguhnya membawa kita langsung kepada tema Mazmur 103: kasih setia Tuhan tetap selama-lamanya. Manusia dan segala yang fana mungkin terus berubah, tetapi kasih Tuhan tidak pernah goyah; Ia adalah satu-satunya yang tidak tergoyahkan di tengah arus perubahan. Mazmur 103 memberikan jawabannya bukan dengan bahasa kaku metafisika, tetapi dengan syair iman yang hidup. Kata Ibrani כֵּן (ken) dalam ayat 15, yang diterjemahkan LAI sebagai “adapun” dan dalam bahasa Batak sebagai “songon”, menegaskan identitas asali manusia. Tidak ada yang menetap secara permanen dalam diri kita. Kita fana, kita rapuh, dan itu bukan akibat dosa. Sejak awal, ketika manusia diciptakan dari debu tanah (Kejadian 2:7), debu itu sendiri sudah menjadi penanda kerapuhan. Kerapuhan adalah hakikat penciptaan, bagian dari rancangan Allah. Bukankah penciptaan manusia dari debu terjadi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa? Artinya, Allah sendiri sudah menetapkan kerapuhan sebagai bagian dari identitas kita. Mazmur menegaskan kembali kerapuhan ini dengan kata yāṣîṣ dalam ayat 15, menggambarkan hidup manusia seperti bunga yang indah sesaat tetapi mudah layu oleh terik matahari dan lenyap ketika angin berhembus. Hidup manusia seindah itu, tetapi sekaligus sesingkat itu. Namun, di balik kefanaan manusia, Mazmur mengajak kita melihat kemahakuasaan Tuhan. Ayat 19 berkata: “TUHAN sudah menegakkan takhta-Nya di sorga dan kerajaan-Nya berkuasa atas segala sesuatu.” Kata “segala sesuatu” diterjemahkan dari kata “bakkōl”, yang dalam bahasa Latin disejajarkan dengan kata “omnia”. Tetapi Mazmur tidak menyatakannya dengan bahasa dingin filsafat; ia mengungkapkannya dalam syair iman: takhta-Nya tegak, dan dari sana Ia memerintah atas “bakkōl”. Seluruh ciptaan tidak netral—semuanya adalah milik Raja. Tidak ada ruang kosong dari kedaulatan dan hadirat-Nya. Gambaran ini seperti orkestra yang terdiri dari banyak pemain musik, masing-masing memainkan bagiannya, kadang terdengar kacau, tetapi semua dituntun oleh seorang dirigen. Dunia kita pun demikian. Penuh suara, penuh dinamika, tetapi Sang Dirigen tidak pernah meletakkan tongkatnya. Musik ilahi tetap mengalun. Kesadaran ini mengubah cara kita memandang dunia. Jika segala sesuatu adalah “bakkōl” di bawah kuasa Tuhan, kita tidak boleh menganggap ciptaan sekadar benda mati untuk dieksploitasi. Kita tidak bisa memandang hidup manusia terlepas dari maksud ilahi. Kita dipanggil bukan untuk menjadi pemilik mutlak dunia, tetapi untuk menjadi penjaga dan saksi kerajaan Allah di tengah dunia. Pada tingkat terdalam, “bakkōl” adalah pengakuan bahwa seluruh realitas, termasuk kita yang rapuh, bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Dan di sinilah tema besar Mazmur ini bersinar: kasih setia Tuhan tetap selama-lamanya. Di tengah kefanaan manusia, kita menemukan kepastian. Dunia ini, dan hidup kita di dalamnya, berada dalam genggaman kasih Tuhan yang kekal—dan itu adalah satu-satunya dasar yang tidak akan pernah terguncang. Dengan demikian, di tengah kefanaan manusia yang diibaratkan seperti bunga yang cepat layu, kita diingatkan bahwa kasih setia Tuhan tidak pernah layu dan tidak pernah pudar. Takhta-Nya tegak selama-lamanya, kerajaan-Nya berkuasa atas “bakkōl”—atas segala sesuatu, termasuk hidup kita yang rapuh. Inilah dasar pengharapan sejati: bukan kekuatan manusia, bukan kemegahan dunia, melainkan kasih Tuhan yang kekal. Saat kita menyadari bahwa segala sesuatu ada di bawah pemerintahan-Nya, kita diajak untuk hidup bukan dengan ketakutan, melainkan dengan iman dan syukur. Kita merangkul kerapuhan kita, karena di dalam kerapuhan itu kasih setia Tuhan bersinar makin jelas. Dunia ini mungkin berubah, manusia mungkin fana, tetapi kasih setia Tuhan tetap selama-lamanya—itulah nada dasar yang tidak pernah berhenti mengalun dalam simfoni kehidupan. Dengan demikian, mari kita membawa kebenaran ini ke dalam hati dan kehidupan sehari-hari. Jika kasih setia Tuhan tetap selama-lamanya, maka setiap nafas yang kita hirup adalah bukti bahwa kita tidak pernah dibiarkan sendiri. Kita tidak perlu menyangkal kerapuhan kita, seolah-olah kita harus selalu kuat dan tak tergoyahkan. Sebaliknya, kita dipanggil untuk mengakui keterbatasan kita dan bersandar penuh kepada Tuhan yang memerintah atas bakkōl. Di rumah, di tempat kerja, di tengah pergumulan hidup yang sering tak terduga, mari kita belajar melihat setiap peristiwa sebagai bagian dari simfoni ilahi yang dipimpin oleh Sang Dirigen Agung. Kita mungkin tidak selalu memahami nada yang sedang dimainkan, tetapi kita tahu siapa yang memegang tongkat kendali. Maka hiduplah dengan hati yang penuh syukur, bukan karena dunia ini sempurna, tetapi karena kasih setia Tuhan menopang segala yang rapuh. Marilah kita keluar dari tempat ini, dari ruang ibadah ini, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan keberanian yang lahir dari iman. Jadilah penjaga ciptaan, bukan perusak; jadilah saksi kerajaan Allah, bukan penguasa atas dunia. Dalam setiap langkah, biarlah hidup kita menjadi gema yang menyanyikan satu lagu: kasih setia Tuhan tetap untuk selama-lamanya. (Disampaikan dalam Khotbah Ibadah Minggu Pagi dan Siang di GKPI Air Bersih)
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah