Logo GKPI

Dalam Setiap Pilihan, Kami Memilih Mengasihi Tuhan

Nas: Ulangan 30:15-20 | Ibadah Minggu
🗓️ Tanggal: 13 Jul 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Filsuf eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, pernah berkata, tidak ada satu hari pun dalam hidup ini yang bebas dari keputusan. Kita bangun pagi dan langsung berhadapan dengan pilihan: bangun atau menunda, jujur atau menipu, mengasihi atau membenci, berharap atau menyerah.
Namun di tengah kebebasan yang tampak menakutkan itu, Musa datang dengan satu pengingat yang lembut sekaligus tajam: “Hari ini aku menghadapkan kepadamu kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan.” (Ulangan 30:15).
Di balik semua pilihan manusia, ternyata ada satu pilihan yang lebih mendasar: mengasihi Tuhan atau membelakangi-Nya. Jalan hidup mana yang kita pilih: bukan hanya menentukan arah perjalanan, tetapi juga menunjukkan isi hati kita terhadap Allah.
Filsafat boleh berbicara tentang kebebasan manusia, tetapi iman memperlihatkan bahwa kebebasan sejati baru berarti ketika dipakai untuk memilih kasih kepada Tuhan dan berjalan di dalam jalan-Nya.
Secara historis, Ulangan 30 adalah bagian penutup dari pidato ketiga Musa kepada bangsa Israel, yang disampaikan saat mereka berdiri di ambang Tanah Perjanjian. Generasi baru yang lahir selama pengembaraan di padang gurun kini bersiap menyeberangi Sungai Yordan. Musa tahu bahwa ia tidak akan ikut melangkah bersama mereka, karena ketidaktaatannya di masa lalu. Dalam momen penting itu, Musa memperbarui perjanjian antara Allah dan umat-Nya—sebuah perjanjian yang tidak hanya berisi hukum, tetapi juga panggilan untuk memilih: kehidupan atau kematian, berkat atau kutuk. Ini bukan sekadar instruksi moral, melainkan tuntunan hidup yang akan menentukan masa depan mereka sebagai bangsa perjanjian.
Secara teologis, bagian ini menggarisbawahi bahwa Allah adalah sumber hidup, dan kasih kepada-Nya tidak dapat dipisahkan dari ketaatan terhadap kehendak-Nya. Musa menekankan, mengasihi Tuhan berarti hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya—sebuah jalan yang bukan hanya benar, tapi juga menghidupkan. Allah tidak memaksa, tetapi mengundang. Ia memberi kebebasan memilih, sekaligus mengingatkan bahwa setiap pilihan membawa konsekuensinya. Dalam ayat 20, Musa dengan sangat personal menyebut Tuhan sebagai “hidupmu” dan “panjang umurmu”—sebuah pengakuan iman, hidup sejati adalah keterhubungan yang utuh dengan Allah.
Secara eksistensial, teks ini menantang setiap orang percaya di segala zaman untuk bertanya dengan jujur: jalan hidup mana yang sedang aku tempuh? Dalam dunia yang menawarkan banyak alternatif untuk “hidup yang baik”—entah itu lewat kenyamanan, kekuasaan, atau kebebasan tanpa batas—firman Tuhan justru mengarahkan kita kepada hidup yang berakar dalam kasih dan ketaatan kepada-Nya. Pilihan yang disampaikan Musa bukan hanya relevan bagi Israel ribuan tahun lalu, tetapi juga menyentuh inti kehidupan manusia modern: bahwa pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi kepada siapa kita menyerahkan arah hidup kita.
Dalam kehidupan komunitas beriman, pilihan antara mengasihi Tuhan dan berpaling dari-Nya tidak pernah terjadi dalam ruang hampa. Setiap keputusan pribadi dalam jemaat—untuk taat atau menyimpang, untuk mengasihi atau mengabaikan Tuhan—selalu memberi dampak bagi tubuh Kristus secara keseluruhan. Musa menyampaikan firman ini bukan kepada individu secara terpisah, tetapi kepada bangsa sebagai satu kesatuan umat Allah. Artinya, kasih dan ketaatan kepada Tuhan adalah panggilan kolektif. Gereja sebagai komunitas yang hidup dari kasih karunia dipanggil untuk menempuh jalan Tuhan secara bersama-sama, saling meneguhkan dalam iman, dan saling memperingatkan dalam kasih.
Bapa Gereja Agustinus menulis dalam Sermon 46, "Ubi caritas est, ibi Deus manet"—di mana ada kasih, di sanalah Allah tinggal. Agustinus melihat bahwa kasih kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kasih dalam komunitas. Maka, pilihan untuk “mengasihi Tuhan dan hidup menurut jalan-Nya” sebagaimana dikatakan Musa, harus diterjemahkan dalam semangat hidup bersama: mengampuni yang jatuh, mengangkat yang lemah, menegur yang menyimpang, dan merangkul yang tertinggal. Komunitas yang hidup menurut jalan Tuhan adalah komunitas yang tidak berjalan dengan ego masing-masing, tetapi saling menuntun di jalan kasih dan kebenaran.
Di sinilah pentingnya dimensi personalitas orang Kristen dalam terang iman: setiap pribadi tidak hidup sebagai entitas terisolasi, tetapi sebagai bagian dari tubuh Kristus yang saling menopang. Menjadi Kristen berarti secara sadar menempatkan diri di tengah komunitas yang berjalan bersama menuju Allah—dengan hati yang sehati. Dalam kasih yang dijalani bersama, kita belajar mengasihi Tuhan bukan hanya secara individual, tetapi juga secara komunal—karena kasih kepada Allah selalu menemukan wujudnya dalam kesetiaan dalam pembangunan tubuh Kristus, yaitu jemaat-Nya. Maka, mengasihi Tuhan dan hidup menurut jalan-Nya bukan hanya tugas individual, tetapi juga panggilan bersama sebagai komunitas umat yang berjalan dalam terang firman.
Ketika Musa berkata, “Pilihlah kehidupan dengan mengasihi Tuhan dan hidup menurut jalan-Nya,” ia tidak sedang menuntut sebuah keputusan sesaat, melainkan mengundang umat Allah untuk menjalani hidup yang terus-menerus ditandai oleh kesetiaan dan kasih kepada Tuhan. Sebuah pilihan yang harus diperbarui setiap hari, bahkan ketika badai datang silih berganti.
Sebagai komunitas beriman, kita tidak hanya diajak untuk memilih Tuhan dalam momen yang mudah, tetapi juga di tengah ketidakpastian, di tengah luka, di tengah pergumulan. Iman yang sejati bukan hanya tentang kekuatan pribadi, tetapi juga tentang kebersamaan dalam saling menopang dan menguatkan untuk tetap setia di jalan Tuhan. Maka, ketika satu orang berkata, “Aku mau cinta Yesus selamanya,” itu menjadi gema dari suara jemaat yang satu: suara tubuh Kristus yang ingin tetap berjalan di jalan kasih dan kebenaran.
Lagu yang akan kita nyanyikan bukan sekadar ungkapan pribadi, melainkan pengakuan bersama: bahwa kita adalah anak-anak-Nya, dan bahwa kita menyerahkan seluruh hidup kita, baik dalam musim tenang maupun badai, kepada rancangan kasih Tuhan. Inilah wujud nyata dari memilih kehidupan itu—bukan karena kita mampu, tetapi karena Dia yang kita kasihi layak dan setia menuntun kita.

Ku Mau Cinta Yesus Selamanya. Ku mau cinta Yesus selamanya. Ku mau cinta Yesus selamanya
Meskipun badai silih berganti dalam hidupku. Ku tetap cinta Yesus selamanya
Reff:
Ya Abba Bapa, ini aku anak-Mu. Layakkanlah seluruh hidupku
Ya Abba Bapa, ini aku anak-Mu. Pakailah sesuai dengan rencana-Mu
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah