Hiduplah Sebagai Orang Merdeka
    Nas: 1 Petrus 2:11-17 | Ibadah Minggu
    🗓️ Tanggal: 17 Aug 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Hiduplah sebagai orang merdeka. Kedengarannya indah, tetapi apa artinya dalam kehidupan sehari-hari? Banyak orang mengira kemerdekaan berarti bebas melakukan apa saja—tidak ada aturan, tidak ada batasan. Namun anehnya, justru banyak orang yang merasa terikat meskipun hidup di zaman yang katanya bebas. Terikat oleh tuntutan pekerjaan, oleh tekanan sosial, bahkan oleh citra diri yang harus dijaga setiap saat.
Di zaman sekarang, kita hidup di tengah dunia yang gemar memberi citra diri. Citra diri kita sering dibentuk oleh jabatan, pencapaian, atau penampilannya. Fenomena itulah yang dimanfaatkan oleh media sosial. Semua orang dapat membentuk citra dirinya, melalui apa yang bisa dilakukan, apa yang dapat diraih, kemudian dipublikasi. Publikasi itu menciptakan verifikasi dari orang lain berupa “likes,” “views,” atau “followers.”
Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan yang lebih mendalam: Siapa saya sebenarnya? Apakah identitas kita sebatas citra diri yang dipertontokan melalui pekerjaan, jabatan, pakaian, capaian, atau perbuatan? Ataukah ada sesuatu yang lebih mendasar, lebih dalam, dan tidak bisa tergoyahkan, selain hidup yang dipertontonkan melalui citra diri tadi? Atau, apakah kita bisa merdeka dari citra diri, dan masuk ke dalam nilai kehidupan paling dalam, sehingga identitas kita tidak ditentukan oleh citra diri melainkan nilai kehidupan paling dalam tadi?
Bacaan hari ini mengingatkan kita bahwa identitas sejati dibentuk oleh iman. Itulah yang menentukan keberadaan kita (being), bukan citra diri yang dibangun lewat jabatan, prestasi hidup, atau perbuatan spektakuler di mata dunia. Identitas ini bukanlah sesuatu yang abstrak atau tak tersentuh; ia bekerja melalui kehidupan nyata, dapat dilihat dan dirasakan. Nas ini mengajak kita melihat bahwa hidup dalam kemerdekaan adalah wujud nyata dari identitas yang dibentuk oleh iman. Dengan demikian, kemerdekaan sejati bukanlah hasil usaha kita untuk meraihnya, melainkan buah dari identitas yang kita terima—identitas yang terwujud melalui pemeliharaan kemerdekaan itu sendiri (becoming).
Sejak zaman kuno, filsafat selalu mempertanyakan dua hal besar: siapa manusia itu? (being) dan bagaimana manusia menjadi dirinya? (becoming). Para filsuf Yunani seperti Parmenides menekankan being — keberadaan yang tetap, tidak berubah. Baginya, yang sejati adalah yang kekal, tidak goyah. Sementara Heraclitus berkata sebaliknya: hidup ini adalah becoming — selalu berubah, mengalir, tidak ada yang tetap selain perubahan itu sendiri.
Pertanyaan ini tidak berhenti di filsafat Yunani. Sampai hari ini, kita pun bergulat dengan hal yang sama. Apakah diri kita ditentukan oleh siapa kita secara hakiki (being) atau oleh apa yang kita lakukan dan capai (becoming)? Dunia modern sering mengajarkan bahwa nilai manusia ditentukan oleh prestasi, posisi, dan citra diri. Identitas menjadi proyek pribadi yang harus dibangun terus-menerus — sebuah becoming tanpa dasar being yang jelas. Akibatnya, banyak orang merasa lelah: selalu berusaha menjadi seseorang di mata dunia, tetapi tidak pernah sungguh tahu siapa dirinya.
Firman Tuhan hari ini memberi jawaban yang berbeda. Identitas sejati (being) lahir dari iman, sesuatu yang diterima dari Tuhan, bukan diusahakan. Namun, identitas itu bukanlah sesuatu yang abstrak atau tidak terlihat. Ia akan menjadi nyata (becoming) lewat cara kita hidup, lewat perbuatan yang selaras dengan siapa kita sebenarnya. Dalam hal itulah, Petrus menunjukkan, kemerdekaan sejati bukan sesuatu yang kita rebut dengan usaha, tetapi sesuatu yang kita hidupi karena identitas kita di dalam Kristus. Dan hidup dalam kemerdekaan itu sendiri adalah cara kita memelihara identitas itu.
Identitas orang percaya dalam Kristus adalah fondasi kemerdekaan sejati, dan Petrus menegaskan hal ini dengan menyebut jemaat sebagai “pendatang dan perantau” (1Ptr 2:11). Ini adalah bahasa identitas yang tidak bergantung pada prestasi atau citra diri, melainkan pada anugerah pemilihan Allah. Secara filosofis, ini menyentuh dimensi being: keberadaan yang tetap dan kokoh, yang tidak ditentukan oleh arus perubahan, tetapi berakar dalam karya Allah. Demikian pula, ketika Petrus berkata, “Hiduplah sebagai orang merdeka… sebagai hamba Allah” (1Ptr 2:16), ia menghadirkan paradoks: kebebasan bukanlah ketiadaan ikatan, melainkan keterikatan yang benar—pada Allah sendiri. Dalam kacamata being, kemerdekaan adalah status yang sudah diberikan di dalam Kristus, bebas dari kuasa dosa dan ketakutan, bukan hasil usaha manusia. Identitas ini mendahului dan membentuk setiap tindakan; kita tidak hidup benar untuk menjadi anak Allah, tetapi kita hidup benar karena sudah menjadi anak Allah.
Namun, identitas itu tidak berhenti pada status. Ia harus menubuh dalam praktik nyata, yang disebut dimensi becoming. Petrus mengajak jemaat untuk menjauhkan diri dari keinginan daging yang berperang melawan jiwa, membangun disiplin hasrat yang selaras dengan identitas iman. Hidup merdeka juga terlihat dalam perilaku yang indah di ruang publik (ay.12), di mana kesaksian etis menjadi bukti yang tak terbantahkan, membungkam tuduhan tanpa kata-kata (ay.15). Perlu diingat, jemaat penerima surat hidup sebagai minoritas yang dicurigai bahkan difitnah. Karena itu, panggilan untuk “berlaku baik” bukan sekadar moralitas umum, melainkan strategi kesaksian yang lahir dari iman. Semua ini dirangkum dalam etos hormat, kasih, dan takut akan Allah (ay.17) yang membentuk relasi universal, komunal, vertikal, dan sosial-politik secara proporsional.
Di sinilah paradoks kebebasan menjadi jelas: orang percaya dipanggil untuk merdeka, namun sekaligus menjadi hamba Allah (ay.16). Dalam dunia Romawi, hamba berarti kehilangan kebebasan, tetapi Petrus membalikkan gambaran ini—justru dengan menjadi hamba Allah, manusia mengalami kemerdekaan tertinggi, sebab hanya Allah yang layak mengikat hati manusia. Kebebasan sejati menurut Injil berbeda dari kebebasan modern. Dunia modern mendefinisikan kebebasan sebagai “bebas dari batas,” sedangkan Petrus mendefinisikannya sebagai “bebas untuk taat kepada Allah.” Petrus menolak dikotomi kaku antara being yang tetap dan becoming yang berubah. Dalam Kristus, identitas yang kokoh menghasilkan perbuatan yang dinamis; kemerdekaan yang diterima melahirkan kemerdekaan yang dipelihara melalui hidup benar. Dengan demikian, keberadaan kita tidak terletak pada usaha untuk meraih kemerdekaan, melainkan pada identitas yang dianugerahkan—identitas yang terus diwujudkan dalam cara kita hidup, bersaksi, dan membangun dunia dengan integritas.
Kemerdekaan yang dimaksud Petrus bukanlah kebebasan untuk bertindak semaunya, melainkan kebebasan yang diwujudkan dalam kesediaan membatasi diri demi orang lain. Hidup sebagai hamba Allah berarti setiap orang percaya rela menahan keinginan diri agar kemerdekaan orang lain juga terpelihara. Inilah ciri khas kemerdekaan Injil: kebebasan yang tidak egois, tetapi membebaskan. Kristus sendiri adalah teladannya. Ia, yang adalah Allah, rela “mengosongkan diri-Nya” dan menjadi manusia, membatasi diri-Nya demi membebaskan manusia dari kuasa dosa dan maut. Dengan demikian, kemerdekaan sejati tidak pernah lepas dari sikap mengikatkan diri pada kasih, menahan diri untuk memberi ruang bagi sesama, dan memelihara tatanan hidup bersama. Inilah paradoks Injil: kita benar-benar merdeka justru ketika kita menjadi hamba Allah dan membiarkan identitas kita menuntun perbuatan kita untuk membangun kemerdekaan bagi orang lain.
Kemerdekaan sejati berakar pada iman kepada Kristus, bukan pada usaha manusia untuk meraihnya. Inilah identitas dasar setiap orang percaya: hamba Allah yang sudah dimerdekakan dari kuasa dosa dan ketakutan. Ketika jemaat menyadari bahwa hidup mereka adalah milik Allah, lahirlah kesadaran mendalam bahwa segala yang dilakukan bukan untuk membangun kemuliaan diri, melainkan untuk memuliakan Dia. Identitas ini menegaskan bahwa keberadaan kita (being) bersumber pada kasih karunia, bukan pada citra diri atau pencapaian duniawi.
Identitas sebagai hamba Allah ini kemudian mengalir dalam tindakan nyata, yaitu mengusahakan kemerdekaan semua ciptaan (becoming). Kemerdekaan yang sejati tidak dihayati untuk diri sendiri, tetapi untuk memberi ruang hidup bagi orang lain, keluarga, jemaat, masyarakat, bangsa, bahkan alam semesta. Hidup dalam iman berarti berani membatasi diri, menghormati sesama, dan memelihara martabat seluruh ciptaan. Inilah wujud nyata dari kebebasan Injil: kebebasan yang membebaskan, kesaksian iman yang membungkam tuduhan, dan kehidupan yang membawa damai.
Hidup merdeka akhirnya terwujud dalam etos hormat, kasih, dan takut akan Allah di semua lini kehidupan. Di keluarga, gereja, masyarakat, bangsa, dan negara, kita dipanggil untuk menghormati semua orang, mengasihi saudara seiman, dan menempatkan Allah di atas segalanya sebagaimana ditekankan dalam 1 Petrus 2:17. Dalam kerangka ini, kebebasan pribadi bukan alasan untuk bertindak sewenang-wenang, tetapi panggilan untuk melayani dan membangun kehidupan bersama sesuai teladan Kristus, yang justru memerdekakan dunia dengan membatasi diri-Nya demi keselamatan manusia.
(Khotbah Minggu 17 Agustus 2025 di GKPI Air Bersih)    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah