Logo GKPI

Berjalan Tanpa Peta, Bertahan Tanpa Kepastian, Menang dengan Janji Tuhan

Nas: Ibrani 11:8-16 | Ibadah Sektor
🗓️ Tanggal: 12 Aug 2025
👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit

Di zaman ini, kita hidup dalam arus yang serba cepat. Informasi mengalir tanpa henti, keputusan diambil dalam hitungan detik, dan hasil ingin diperoleh seketika. Kita dimanjakan oleh layanan instan: pesan hari ini, terima hari ini; klik tombol, semua tersedia. Namun, budaya serba cepat ini tanpa sadar membentuk jiwa yang gelisah. Kita ingin doa terjawab segera, masalah selesai sekarang, dan jalan hidup terbuka tanpa menunggu. Ketika itu tidak terjadi, kita mudah lelah, kecewa, bahkan kehilangan arah. Perjalanan rohani pun sering berhenti di tengah jalan, hanya karena janji Tuhan terasa terlalu jauh untuk dicapai.
Ibrani 11:8-16 menempatkan kita di hadapan sebuah kisah yang berlawanan dengan budaya instan. Abraham dipanggil untuk pergi ke negeri yang tidak ia ketahui, tanpa peta, tanpa jaminan kecuali suara Allah. Sara menunggu tahun demi tahun untuk melihat janji keturunan yang tampak mustahil secara manusia. Mereka hidup sebagai pendatang, tanpa kepemilikan tanah yang nyata, namun hati mereka tetap terarah pada “kota yang beralas kokoh” yang Allah rancang. Mereka berjalan di jalan yang panjang, menempuh hari-hari yang penuh ketidakpastian, tetapi tidak pernah melepaskan pegangan pada janji-Nya.
Di sinilah kita belajar tentang iman. Iman bukan sekadar percaya bahwa Allah ada, tetapi menyerahkan langkah kepada-Nya bahkan ketika arah belum jelas. Teolog Dietrich Bonhoeffer pernah menulis, "Faith is only real when there is obedience, never without it, and faith only becomes faith in the act of obedience" (Iman hanya nyata ketika disertai ketaatan, dan iman menjadi iman sejati ketika diwujudkan dalam ketaatan). Abraham menunjukkan iman bukan dengan teori, tetapi dengan langkah kaki yang meninggalkan kenyamanan demi janji Allah.
Kita juga melihat pengharapan yang menjadi kompas rohani. Pengharapan menuntun hati kita melampaui kenyataan yang ada. Tokoh-tokoh dalam teks ini "melihat dari jauh" janji itu, dan “menyambutnya” meski belum memegangnya penuh. Teolog Jürgen Moltmann, dalam bukunya Theology of Hope, mengatakan bahwa pengharapan Kristen bukanlah sekadar menunggu, tetapi "a living anticipation of the future promised by God"—suatu antisipasi hidup akan masa depan yang dijanjikan Allah. Pengharapan yang sejati membuat kita berani menjalani hari ini dengan keyakinan, karena kita tahu masa depan ada di tangan Allah yang setia, dan Dia senantiasa menyertai oleh yang beriman kepada-Nya.
Dari iman dan pengharapan lahirlah resiliensi—daya tahan rohani. Resiliensi bukan hanya soal bertahan hidup, melainkan bertahan dengan hati yang tetap percaya. Abraham dan Sara tidak membiarkan status mereka sebagai “pendatang” membuat mereka putus asa. Mereka tidak berhenti melangkah hanya karena janji itu belum mereka lihat. Teolog Eugene Peterson menggambarkan perjalanan iman sebagai "a long obedience in the same direction"—ketaatan yang panjang dalam arah yang sama. Resiliensi rohani berarti tetap setia meski jalan terasa melelahkan dan janji belum digenapi penuh.
Dunia kita hari ini tidak memberi banyak ruang untuk menunggu. Tetapi Ibrani 11:8-16 mengingatkan bahwa perjalanan iman bukanlah lomba cepat, melainkan maraton rohani. Allah mungkin tidak memberi kita peta lengkap, tetapi Ia selalu berjalan bersama kita. Janji-Nya bukan janji kosong; Ia sedang mempersiapkan kota yang beralas kokoh, tanah air surgawi yang tidak tergoncangkan. Karena itu, teruslah melangkah dengan iman seperti Abraham, arahkan pandangan pada pengharapan seperti yang diajarkan Moltmann, dan pelihara resiliensi seperti yang dimaksud Peterson. Sebab yang kita nantikan bukan sekadar jawaban doa di dunia ini, tetapi perjumpaan kita dengan-Nya dalam realitas keseharian hidup yang kita jalani.
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah