Logo GKPI

Berhenti Menjaring Angin: Berjalan Bersama Kristus

Nas: Pengkhotabh 1:12-14 | Ibadah Sektor
🗓️ Tanggal: 01 Aug 2025
👤 Penulis: Pdt. Irvan Hutasoit

Hidup manusia pada akhirnya akan berhadapan dengan satu kenyataan yang tidak bisa dihindari: semua yang dilakukan tanpa Allah pada dasarnya hanyalah seperti menjaring angin. Inilah kesaksian jujur dari Pengkhotbah (1:14), seorang pengamat kehidupan yang telah melihat semua usaha, pencapaian, dan kerja keras manusia. Ia memakai kata "hebel"—yang dalam bahasa Ibrani berarti uap, kabut, sesuatu yang cepat lenyap—untuk menggambarkan kerapuhan hidup manusia. Metafora "menjaring angin" bukan hanya sebuah gambaran puitis, melainkan teguran tajam: bahwa manusia bisa menjadi sangat aktif, sangat produktif, bahkan kelihatan berhasil—tetapi jika semua itu terlepas dari kesadaran akan Allah, maka semuanya kosong. Di tengah dunia yang mendorong kita untuk terus sibuk, kita perlu merenungkan: apakah kesibukan kita membawa makna sejati? Kemajuan teknologi, pekerjaan yang menuntut, bahkan pelayanan gerejawi, bisa saja berubah menjadi aktivitas menjaring angin jika tidak berakar dalam relasi dengan Allah. Kita bisa membangun banyak hal, mengisi agenda dengan berbagai kegiatan, tetapi tetap merasa kosong. Martin Luther pernah berkata, “Tanpa iman kepada Allah, semua pekerjaan dan hikmat manusia hanyalah kesia-siaan.” Kalimat ini menggemakan isi hati Pengkhotbah dan menantang kita untuk memeriksa ulang motivasi terdalam dalam hidup ini. Arah hidup kita tidak ditentukan oleh banyaknya aktivitas, tetapi oleh pusat orientasinya. Aktivitas yang diarahkan kepada Allah akan memancarkan makna yang tak tergoyahkan. Bahkan hal-hal yang tampak sederhana—seperti menjadi orang tua yang setia, bekerja dengan jujur, mengasihi sesama—akan menjadi bernilai kekal jika dilakukan dalam terang persekutuan dengan Allah. Di sinilah letak kesejatian hidup: bukan dalam popularitas atau produktivitas, tetapi dalam kesetiaan kepada Allah yang menjadi tujuan utama segala sesuatu. Qohelet tidak membiarkan kita tenggelam dalam pesimisme. Ia menunjukkan jalan keluar: "Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya" (Pengkhotbah 12:13). Yirat Elohim, atau takut akan Allah, bukanlah ketakutan yang membuat kita lari, melainkan kekaguman yang mendalam, yang menumbuhkan penyerahan diri, dan melahirkan ketaatan yang lahir dari kasih. Takut akan Allah berarti mengakui bahwa hidup ini bukan milik kita, bahwa pusat kehidupan bukan kehendak pribadi, tetapi kehendak Allah. Ketaatan di sini bukan legalisme, tetapi buah dari relasi yang hidup. Karena itu, marilah kita berhenti menjaring angin. Hidup bukan untuk diisi dengan daftar panjang aktivitas yang tak berujung dan tak memuaskan. Dalam Tuhan, segala sesuatu menemukan tempatnya: pekerjaan menjadi ibadah, pelayanan menjadi ekspresi kasih, relasi menjadi cerminan kemuliaan-Nya. Kita tidak lagi hidup dalam kelelahan karena kekosongan, tetapi dalam kelegaan karena arah. Ketika Allah menjadi pusat, maka hidup kita, sesederhana apa pun, menjadi penuh makna dan sukacita yang kekal.
📤 Bagikan via WhatsApp ← Kembali ke Daftar Khotbah