Akhir Adalah Awal
    Nas: 2 Korintus 5:1 | Ibadah Lainnya
    🗓️ Tanggal: 30 Jul 2025
    👤 Penulis: Pdt. Dr. Irvan Hutasoit
    
    
      Dalam keheningan duka ini, kita berdiri di hadapan tubuh almarhum Penatua Parningotan Silitonga, seorang suami, ayah, sahabat, dan pelayan gereja yang telah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia ini. Kita berduka karena kepergiannya. Namun di balik air mata, kita juga bersyukur. Sebab hidupnya tidak sia-sia, dan perjalanannya tidak berakhir di sini.
Rasul Paulus menuliskan bahwa tubuh kita di dunia ini seperti kemah. Sebuah tempat tinggal yang sementara, ringan, dan mudah dibongkar. Kemah bukanlah tempat menetap, melainkan tempat bernaung sementara dalam sebuah perjalanan. Dan sekarang, kemah almarhum telah dibongkar. Namun ini bukan akhir yang hampa—melainkan sebuah kepulangan.
Kita percaya, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, bahwa Allah telah menyediakan rumah yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia, bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Tempat itu bukan bayangan harapan kosong, melainkan janji yang kokoh. Itulah rumah sejati, tempat setiap peziarah iman disambut dalam pelukan kasih yang tak terputus. Kita percaya, almarhum telah tiba di rumah itu. Ia telah kembali kepada Tuhan yang ia layani dengan setia.
Dalam momen yang begitu mengguncang, ketika teolog Jerman Dietrich Bonhoeffer dipanggil keluar dari sel penjara untuk dihukum mati, ia menoleh kepada temannya dan berkata dengan tenang, “Ini adalah akhir—bagi saya, awal dari kehidupan.” Kata-kata itu lahir dari kedalaman iman yang melihat kematian bukan sebagai kekalahan, tetapi sebagai gerbang. Gerbang menuju hidup yang tidak akan pernah diakhiri oleh penderitaan, sakit, atau air mata.
Hari ini, kita pun berdiri di gerbang yang sama. Kita melihat kematian bukan sebagai kehilangan total, tetapi sebagai awal dari kehidupan yang sejati. Kita kehilangan kehadiran fisik almarhum, namun tidak kehilangan kasihnya, teladannya, dan jejak imannya. Semua itu tertanam dalam ingatan dan hidup kita. Ia telah menabur dalam diam, dan benihnya akan tumbuh di antara kita yang tinggal.
Kita boleh menangis, dan itu wajar. Sebab kasih selalu membawa luka saat berpisah. Tapi kita tidak dibiarkan sendirian dalam kesedihan. Tuhan yang menjemput almarhum adalah Tuhan yang tetap tinggal bersama kita. Ia menopang mereka yang berduka. Ia menguatkan hati yang rapuh. Ia berjalan bersama keluarga yang ditinggalkan. Dan Ia menjanjikan bahwa suatu hari, kita semua akan berkumpul kembali—bukan dalam kemah yang rapuh, tetapi dalam rumah surgawi yang kekal.
Karena itu, mari kita lanjutkan hidup ini bukan dalam keputusasaan, melainkan dalam iman. Kita hidup sebagai orang-orang yang tahu ke mana arah perjalanan ini. Seperti almarhum, marilah kita setia. Marilah kita melayani. Dan bila waktu kita tiba, kita pun dapat berkata: “Ini adalah akhir—bagi saya, awal dari kehidupan.”
(Khotbah disampaikan pada saat Ibadah Tutup Peti Pnt. Parningotan Silitonga di GKPI Air Bersih, hari Rabu, 30 Juli 2025)    
    
  📤 Bagikan via WhatsApp
    ← Kembali ke Daftar Khotbah